B. Pendahuluan
Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapinya (Wijayakusuma, 2000). Berbagai macam penyakit dan keluhan ringan maupun berat dapat diobati dengan memanfaatkan ramuan dari tumbuh-tumbuhan tertentu yang mudah diperoleh di sekitar pekarangan rumah dan hasilnya pun cukup memuaskan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang semakin pesat dan canggih di zaman sekarang ini, ternyata tidak mampu menggeser atau mengesampingkan begitu saja peranan obat-obat tradisional, tetapi justru hidup berdampingan dan saling melengkapi (Thomas,2000).
Sudah sejak lama bangsa Indonesia mengenal khasiat berbagai ragam jenis tanaman sebagai sarana perawatan kesehatan, pengobatan serta untuk mempercantik diri yang selama ini dikenal sebagai jamu. Dikalangan internasional, jamu dikenal dengan istilah Herbs yang berasal dari bahasa latin Herba yang berarti rumput, tangkai, tangkai hijau yang lunak dan kecil dan agak berdaun. (Ong,2000)
Diperkirakan sekitar 30 000 tumbuhan ditemukan di dalam hutan hujan tropika, dan sekitar 1 260 spesies di antaranya berkhasiat sebagai obat. Baru sekitar 180 spesies yang telah digunakan untuk berbagai keperluan industri obat dan jamu, tetapi baru beberapa spesies saja yang telah di budidayakan secara intensif (Supriadi, 2001).
Di Amerika Serikat menurut Pramono (2001), dari 45 macam obat penting berasal dari tumbuhan obat tropika, 14 spesies barasal dari Indonesia diantaranya obat anti kanker vinblastin dan vincristine yang berasal dari tapak dara (Catharanthus roseus) dan obat hipertensi reserpine yang berasal dari puleai pandak (Rauvolfia serpentina).
Akhir-akhir ini penggunaan tumbuhan obat di Indonesia semakin meningkat, sedangkan usaha budidaya tumbuhan obat masih sangat terbatas. Banyak pula jenis tumbuhan berpotensi obat yang tumbuh di kawasan tropis ini belum dimanfaatkan secara optimal. Lebih dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat (Sulandjari, 2009).
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) memperkirakan sekitar 80% masyarakat dunia yang tinggal di pedesaan masih menggantungkan dirinya terhadap tumbuhan obat untuk menjaga kesehatannya (Anonim, 2001). Peran tumbuhan bagi masyarakat tradisional hampir tidak tergantikan oleh obat-obatan modern kimiawi (Hidayat, 2007).
C. Permasalahan
Permasalah taksonomi tanaman obat di Indonesia dapat disebabkan karena:
1. Keanekaragaman didalam jenis tanaman obat diketahui sangat sempit.
Sebagai contoh Alstonia scholaris (L.) R. Br. yang dikenal dengan nama pulai, variasinya di alam sangat kecil tetapi kerabat dekatnya banyak dan sering dikacaukan dan sengaja dijadikan surogat (pemalsu) (Rifai, Rugayah dan Widjaja, 1992). Pulai tersebut dijumpai di dalam hutan tropika Indonesia dan banyak digunakan sebagai bahan baku industri jamu. Penyebaran tanaman tersebut adalah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian jaya, Maluku, Nusa Tenggara dan Jawa. Belum dilakukan karakterisasi pada jenis pulai yang berada di beberapa daerah penyebarannya, sehingga tidak diketahui apakah dari beberapa daerah tersebut ada yang menunjukkan perbedaan dalam morfologi atau kandungan kimianya.
Dari penelitian yang telah dilakukan Sirait (2001) menunjukan bahwa 80% tanaman-tanaman obat untuk jamu didominasi oleh famili Zingiberaceae menyusul Piperaceae dan Umbeliferae. Ketiga famili tersebut mempunyai aroma, warna bunga, umbi yang jelas dan mudah ditanam.
Dalam UU No 12 tahun 1992, pasal 1 butir 2, plasma nutfah diartikan sebagai substansi yang terdapat dalam kelompok mahluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar baru. Sedangkan menurut Sumarno (2002) plasma nutfah termasuk di dalam pengertian yang paling sempit, yaitu keanekaragam di dalam jenis. Sebagai contoh plasma nutfah pisang adalah pisang tanduk, pisang lampung, pisang ambon, sapi bali, sapi madura, Itik alabio, itik mojokerto, domba garut, domba ekor tipis, ikan mas si Nyonya dan ikan mas Majalaya. Plasma nutfah tanaman obat misalnya tanaman jahe adalah jahe gajah (Cimanggu 1, Cimanggu 2) , jahe emprit/kapur, jahe merah, sedangkan contoh untuk tanaman katuk adalah Bastar, Paris, Kebo dan Zanzibar.
2. Kelestariannya tidak terjaga.
Tanaman obat biasanya tumbuh di tanah pekarangan atau tanah yang dianggap tidak produktif seperti lereng atau jurang, lembah sungai dan tanah pekarangan di belakang rumah. Namun karena kepadatan penduduk maka disertiap jengkal tanah dimanfaatkan sebagai bangunan, maka banyak TO menjadi hilang dari habitatnya. Sebagai dampak dari bertambah banyaknya sarana pengobatan modern dengan obat-obatan modern banyak pula generasi muda yang tidak mengenal tanaman obat. (Nyoman,2003). Selain itu kegiatan penggundulan hutan atau bencana alam yang dapat merusak hutan juga menyebabkan berkurangnua tanaman obat bahkan menyebabkan tanaman obat yang sudah langka menjadi punah atau semakin sulit di temukan.
Klasifikasi kondisi tanaman obat akibat pengambilan bahan baku tanpa dilakukan pelestarian plasma nutfahnya diklasifikasikan menjadi 5 kelompok (Muharso, 2000).
1. Punah, dianggap telah musnah dari muka bumi.
2. Genting, jenis tanaman yang terancam punah. Contohnya purwoceng (Pimpinella pruatjan), kayu angin (Usnea misaminensis), pulasari (Alyxia reiwardii) dan bidara laut (Trychnos ligustrina).
3. Rawan, jumlah sedikit tapi terus dieksploitasi. Contohnya Ki koneng (Arcangelisia flava).
4. Jarang, jenis tanaman dengan populasi besar tapi tersebar secara lokal, atau daerah penyebarannya luas tapi mengalami erosi berat. Contohnya pulai (Alstonia scholaris).
5. Terkikis, jenis tanaman yang jelas mengalami kelangkaan tapi informasi keadaan sebenarnya belum mencukupi untuk masuk dalam kategori tersebut di atas.
Idealnya semua tanaman obat harus dilestarikan, meliputi semua populasinya di alam (in situ) dan dilakukan pengakaran di luar habitatnya (ex situ). Kegiatan eksplorasi yang merupakan pelacakan atau penjelajahan, mencari, mengumpulkan dan meneliti plasma nutfah tertentu dilakukan untuk mengamankan dari kepunahan. Peningkatan budidaya tanaman obat merupakan upaya yang diharapkan dapat melestraikan sumber plasma nutfah khususnya tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (tanaman sumber pangan, obat, papan dan sandang).
Dalam pemanfaatannya bahan baku tumbuhan obat masih tergantung pada tumbuhan yang ada di hutan alam atau berasal dari pertanaman rakyat yang diusahakan secara tradisional. Kegiatan eksploitasi tanaman liar secara berlebihan melebihi kemampuan regenerasi dari tanaman dan tanpa disertai usaha budidaya, akan mengganggu kelestarian tanaman tersebut (Muharso, 2000).
Akibatnya banyak tanaman yang terancam punah atau paling tidak sudah sulit dijumpai di alam Indonesia, seperti purwoceng (Pimpinella pruacan), kayu angin (Usnea misaminensis), pulasari (Alyxia reiwardii), bidara laut (Strychnos ligustrina) dan lain-lain (Muharso, 2000). Dari informasi langsung dari pemilik pabrik jamu cap bintang timbangan di Sukabumi diketahui bahwa tumbuhan obat yang berada di kaki Gunung Salak yang dipakai sebagai ramuan jamunya seperti pulasari, ki rapet, ki rame, sambiloto (dari Jawa Tengah), ki urat, tempuyung, kumis kucing, ki sereh (diambil akarnya), kulit sintok, kembang puspa sebagian kondisinya sudah sangat kritis terutama dari jenis yang merambat sehingga mulai tahun 2002 bahan baku kebutuhan pabrik jamu cap bintang timbangan diambil dari Lampung. Berdasarkan hasil penelitian Mujenah, 1993 (dalam Nurhadi et al, 2000) di kabupaten Jember dan Banyuwangi Propinsi Jawa Timur dimana Taman Nasional Meru Betiri berada yang luasannya sekitar 58 000 ha ditemukan tidak kurang dari 350 jenis tumbuhan yang memiliki khasiat obat. Sebagian diantaranya telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat secara turun menurun.
Permasalahan pelestarian Tumbuhan Obat Indonesia menurut Zuhud et al. (2001) disebabkan karena:
a) Kerusakan habitat,
b) Punahnya budaya dan pengetahuan tradisional penduduk asli/lokal di dalam atau sekitar hutan,
c) Pemanenan tumbuhan obat yang berlebihan.
Adanya eksploitasi terhadap kayu yang sekaligus pohon tersebut yang juga merupakan spesies tumbuhan obat juga merupakan ancaman terhadap kelestarian tumbuhan obatnya. Sebagian besar areal konsesi HPH (areal eksploitasi kayu) yang sudah diusahakan saat ini terdapat di tipe hutan hujan dataran rendah dimana 44% spesies tumbuhan obat penyebarannya terdapat di formasi hutan ini dan di areal hutan konversi (areal hutan yang bisa dirubah menjadi areal non-hutan seperti untuk perluasan lahan pertanian/ perkebunan, areal transmigrasi dan areal industri dll). Ancaman kelestarian plasma nutfah tumbuhan obat hutan tropika saat ini menurut Zuhud et al. (2001) sangat serius karena formasi hutan tropika dataran rendah selama 2 dekade belakangan ini mengalami kerusakan yang sangat parah, akibat eksploitasi kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan, konversi hutan, perladangan berpindah dan lain-lain.
d) Ketidak seimbangan penawaran dan permintaan tumbuhan obat.
e) Lambatnya pengembangan budidaya tumbuhan obat Indonesia.
f) Rendahnya harga tumbuhan obat.
g) Kurangnya kebijakan dan peraturan perundangan pelestarian.
h) Kelembagaan pelestarian tumbuhan obat.
D. Solusi Permasalahan
1. Pengelolaan plasma nutfah
a) Eksplorasi
Kegiatan eksplorasi yang merupakan pelacakan atau penjelajahan, mencari, mengumpulkan dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu dilakukan untuk mengamankan dari kepunahan ( Kusumo et al, 2002).
Pendekatan awal dalam kegiatan eksplorasi pada umumnya dimulai dengan penelitian etnobotani dan etnofarmakologi sebagai upaya untuk menginventarisasi jenis tumbuhan obat dan manfaat penggunaannya (Anggadiredja dan Rifai, 2000). Kegiatan eksplorasi sudah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian dan industri maupaun perorangan namun hasil-hasilnya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga kita tidak pernah memiliki literatur yang utuh tentang tumbuhan obat dan ramuannya serta cara pengobatannya. Terlebih lagi kegiatan penelitian ini sering tidak dilengkapi oleh pendukung herbarium untuk setiap jenis tumbuhan.
Eksplorasi plasma nutfah tanaman obat telah dilakukan Balittro di Taman Nasional Meru Betiri, G. Ceremai dan G. Cakrabuana Jawa Barat dan hasil eksplorasi ditanam di kebun koleksi sebagai konservasi ex situ (Hasnam et al, 2000).
b) Konservasi
Kegiatan penelitian konservasi tumbuhan obat adalah kegiatan penelitian di hulu yang amat sangat terbatas dan kurang mendapat perhatian. Tiga lembaga yaitu Hostus Medicus Tawangmangu, Balai apenelitian Tanaman Rempah dan Obat serta Kebun Raya dapat menjadi garda terdepan dalam kegiatan penyediaan plasma nutfah secara ex-situ untuk menunjang pelestarian secara in-situ yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan.
Konservasi in situ pada sejumlah Taman Nasional, daerah yang dilindungi telah dilakukan seperti di Meru Betiri (Jawa Timur), Gn. Leuser di Aceh, Gn. Halimun dan Gn. Gede Pangrango di Jawa Barat, Kerinci- Seblat in Jambi, Gn Palung (Kalimantan), Gn. Rinjani (Nusa Tenggara), Rawa Aopa, Dumoga Bone (Sulawesi), Manusela (Maluku) dan Gn. Lorentz di Irian Jaya (Bermawie dan Sutisna, 1999). Menurut Rahardjo et al. (2002) tanaman obat dengan status langka seperti kedawung (Parkia roxburghii G. Donn.), Padmosari (Raffesia zollingeriana Kds), Kayu garu (Aquillari malaccanensis Lamk.). Kayu angin (Usnea barbata Fries) dan Pulai pandak (Raufolvia serpentina) dikonservasi di kawasan penyangga Taman Nasional Meru Betiri.
Idealnya semua tumbuhan obat harus dilestarikan, meliputi semua populasi di alam (in situ) dan dilakukan penangkaran diluar habitatnya (ex situ). Menurut Zuhud et al. (2001) tujuan pelestarian ex situ adalah a) untuk diintroduksi kembali ke habitat aslinya, b) untuk kegiatan pemuliaan dan c) untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Prioritas pelestarian ex situ diberikan untuk spesies yang habitatnya telah rusak atau tidak dapat diamankan lagi, pelestarian ex situ juga harus digunakan untuk meningkatkan spesies lokal yang hampir punah menjadi tersedia kembali di alam. Di beberapa negara hal ini menjadi perhatian untuk melestarikan semua spesies tumbuhan obat secara ex situ.
Koleksi tanaman obat secara ex situ menurut Sudiarto et al., (2001) yang dimiliki oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat adalah:
Di dataran tinggi :
1. IP Manoko : 395 (varietas dan jenis)
2. IP Gunung Putri : 136 (varietas dan jenis)
2 jenis tanaman introduksi
Di dataran rendah :
1. IP Cikampek : 60 (varietas dan jenis)
2. IP Sukamulya : 226 (varietas dan jenis)
3. IP Cimanggu : 291 (varietas dan jenis), 6 jenis asal Sagedepaha
Konservasi in vitro tanaman obat telah dilakukan pada tanaman pegagan, inggu, kumis kucing, meniran, kencur, temu putih, bangle, pulai pandak, purwoceng, temu giring, tapak dara, daun encok, echinaceae, lidah buaya, temu kunci, temu lawak, kunyit, jahe, canola dan murbei. Penyimpanan pule pandak secara in vitro telah dilakukan oleh Gati dan Mariska (2001) dengan pertumbuhan minimal, enkapsulasi atau dengan cara pembekuan dengan nitrogen cair.
Menurut Sastrapradja (2000) bahwa kecenderungan baru untuk melestarikan keanekaragaman hayati pertanian secara lekat lahan memang belum dimulai di Indonesia. Untuk pelestarian tumbuhan obat, agaknya kecenderungan ini perlu dikaji manfaatnya. Berbicara mengenai pelestarian keanekaragaman hayati, usaha ini di negara – negara yang sedang berkembang seperti Indonesia memang menjumpai banyak tantangan. Tanpa mengkaitkannya dengan pembangunan nasional secara menyeluruh, pemerintah akan menganggap usaha pelestarian itu sebagai beban, bukan sebagi peluang.
Namun menurut Nurhadi et al. (2000) konservasi tumbuhan obat harus dilakukan bersama- sama dengan masyarakat, dalam arti kegiatan budidaya tumbuhan obat yang berasal dari dalam hutan tersebut dilakukan oleh masyarakat yang selama ini memanfaatkannya.
Menurut Sastrapradja (2000) yang sebenarnya harus kita kembangkan segera adalah teknologi – teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah sumber bahan baku obat tersebut. Dari pengalaman negara – negara lain kita belajar bahwa untuk menemukan sebuah senyawa kimia yang nantinya dapat dikembangkan menjadi obat, memerlukan waktu yang lama dan dana yang tidak sedikit jumlahnya.
2. Pemanfaatan tanaman obat
Potensi sumbangan plasma nutfah untuk dunia pengobatan mungkin seperti handeuleum atau daun ungu (Graptophyllum pictum) yang digunakan untuk mengatasi masalah ambeien. Namun penelitian untuk mendukung kebenaran ilmiahnya belum secara mendasar dilakukan (Anggadiredja dan Rifai, 2000).
Dalam usaha pemanfaatan tumbuhan obat perlu diperhatikan kelestarian dari jenis tumbuhan tersebut agar tidak punah. Upaya peningkatan budidaya selain melestarikan sumber bahan OT/OAI diharapkan dapat mengembangkan produksi tumbuhan obat dalam negeri, dan selanjutnya dapat diekspor sehingga memberikan nilai tambah dalam pertumbuhan ekonomi (Muharso, 2000).
Komoditas Tanaman Obat unggulan versi Badan POM (2001) telah ditetapkan seperti sambilito, pegagan, jati belanda, tempuyung, temulawak, daun ungu, cabe jawa, sanrego, pasak bumi, pace, daun jinten, kencur, dan teknologi budidayanya untuk sebagian komoditas sudah tersedia.
Beberapa contoh obat tradisional dikemukakan oleh Ma’at (2001) yang berasal dari tanaman obat asli Indonesia yang dikemukakan dengan menggunakan bahasa ilmu kedokteran moderen agar dapat dipahami oleh kalangan dokter yang nantinya diharapkan menjadikan cikal bakal suatu Obat tradisional – Untuk Pelayanan Kesehatan Formal:
1. Obat Tradisional sebagai imunomodulator: Phyllanthus niruri L.
2. Obat Tradisional untuk pengobatan Hiperkolesterolemia dan hipertrigli seridemia : Sechium edule
3. Obat Tradisional untuk pengobatan kanker: Fam cruciferae, Solanum nigrum, Catharanthus roseus/Vinca rosea, Aloe vera L, Allium sativum L., Curcuma longa L., Nigella sativa L., Morinda citrifolia L., Andrographis paniculata Ness., Gynura procumbens Merr.
4. Obat alami sebagai terapi imun dan terapi adjuvan pada infeksi HIV/AIDS.
5. Obat Tradisional untuk pengobatan hiperurisemia dan artritis Gout.
6. Obat bahan alam untuk pengobatan hemoroid
Menurut Sinambela (2002) keanekaragaman plasma nutfah tumbuhan obat Indonesia sebagai sumber bahan obat selayaknya diteliti secara lebih komprehensif dengan pemilihan strategi pendekatan bioprospecting yang tepat. Bioprospecting mencakup aktivitas berbagai disiplin ilmu terutama kimia bahan alam, farmakognosi, agrokimia, botani dan ekonomi. Penelitian bioprospecting laboratoris bertitik tolak dari etnofarmakologi dan etnobotani.
Disamping pemanfaatan plasma nutfah tanaman obat untuk industri jamu juga dapat dimanfaatkan untuk kosmetika seperti lidah buaya (menghilangkan noda hitam, menanggulangi kerut, menstimulasi dan mengganti sel kulit mati dengan sel baru), ketumbar, lavender dan lain-lain (Wardana, 2002).
Di Taman Nasional Gunung Halimun terdapat sekitar 48 jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Diantara jenis tiumbuhan obat tersebut, ada yang berkhasiat sebagai obat tonik, aprodisiak, batuk, asma, jamu sehabis melahirkan, masuk angin, ramuan jamu godok, penyedap, obat penyakit sipilis. Pemanfaatan tumbuhan obat tersebut masih terbatas untuk keperluan keluarga, belum dikomersiilkan (Sukarman et al., 2002).
3. Perlindungan Terhadap Tanaman Obat
Sudah sejak lama kurang lebih 50 tahun yang lalu Indonesia menggunakan tanaman obat sebagai obat, apalagi setelah terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, tanaman obat dipakai sebagai pengobatan alternatif/pilihan bagi ekonomi lemah. Tanaman obat ini sedang menjadi isu di negara -negara berkembang dan bagaimana memberikan perlindungan hukum terhadap tanaman obat, negara-negara berkembang perlu untuk mempelajarinya (Yunus, 2000).
Pengaturan pemanenan tumbuhan obat dari alam, larangan pemungutan spesies tumbuhan obat yang terancam punah perlu dilakukan, demikian juga perlu dilakukan pengontrolan terhadap perdagangan tumbuhan obat dan produk-produknya (Zuhud et al., 2001).
Kita harus berupaya agar paten handeuleum misalnya tidak dilakukan di USA atau Jepang seperti yang dialami tanaman mimba/neem (Azadirachta indica) yang sebenarnya sudah digunakan lebih dari 400 tahun oleh orang India (Anggadiredja dan Rifai, 2000).
4. Kebijakan Operasional
Untuk pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia perlu ditempuh kebijakan operasional dan langkah-langkah sebagai berikut (Muharso, 2000):
Eksploitasi dan pelestarian Sumber Daya Alam
Kebijakan operasional:
- Eksploitasi tumbuhan liar di hutan alam untuk bahan baku OT/OAI dibatasi sebelum budidaya jenis tumbuhan tersebut terlaksana dengan baik
- Segera dilakukan langkah budidaya terhadap jenis tumbuhan yang banyak diperlukan untuk bahan baku OT/OAI.
Langkah –langkah:
- Melaksanakan inventarisasi jenis tumbuhan obat yang terdapat di hutan atau tumbuhan liar.
- Melakukan penanaman kembali jenis tumbuhan obat dalam kondisi genting atau terancam punah.
Penelitian, budidaya tumbuhan obat, penanganan pasca panen, standarisasi serta pengembangan pasar.
5. Tanaman Obat Sebagai Laboratorium Botani
Tanaman obat sebagai laboratorium botani sangat diperlukan. Peranan laboratorium botani sebagai media pendidikan dan penelitian perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah, mengingat masih banyak keanekaragaman hayati yang belum dikaji secara lebih mendalam untuk memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan hidup
E. Kesimpulan
Di Indonesia banyak sekali tanaman obat yang belum di ketahui jenisnya. Selain itu banyak tanaman obat yang tidak terjaga kelestariannya dan hampir punah. Sehingga menjadi penyebab masalah taksonomi. Eksplorasi, konservasi dan pelestarian plasma nutfah tanaman obat indonesia diperlukan agar pemanfaatannya pun menjadi lebih maksimal. Eksplorasi dilakukan agar mudah mengenali dan mengidentifikasi tanaman obat. Agar tidak salah memanfaatkannya.
Tuesday, November 29, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment