BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidup manusia sangat bergantung
pada sumber daya alam yang ada disekitar untuk memenuhi kebutuhannya. Selama
hidupnya manusia membuang kotoran yang tidak diperlukannya kembali ke
lingkungan. Pada saat limbah yang dihasilkan masih sedikit, alam masih mampu membersihkan
dirinya dari segala macam buangan atau kotoran dengan mekanisme yang berada di
ekosistem, yang dikenal sebagai self purification process. Pada
akhirnya, buangan yang bertambah banyak dan seringkali tidak bersifat alami,
membuat lingkungan tidak mampu membersihkan diri. Peningkatan keanekaragaman buangan
baik buangan industri dan domestik dalam bentuk padat maupun cair akan membuat
konsentasi buangan akan semakin tinggi sehingga akan meningkatkan potensi
terjadinya keracunan dan wabah penyakit.
Industri tahu saat ini telah
berkembang pesat dan menjadi salah satu industri rumah tangga yang tersebar
luas baik di kota-kota besar maupun kecil. Industri tahu dalam proses
produksinya menghasilkan limbah cair dan padat. Limbah padat dari hasil proses produksi
tahu berupa ampas tahu. Sedangkan limbah cair tahu dihasilkan dari proses
pencucian, perebusan, pengepresan dan pencetakan tahu sehingga kuantitas limbah
cair yang dihasilkan sangat tinggi. Limbah cair tahu mengandung polutan organik
yang cukup tinggi serta padatan tersuspensi maupun terlarut yang akan mengalami
perubahan fisika, kimia, dan biologi. Menurut Soedarmo dan Sediaoetama dalam
Dhahiyat (1990), di dalam 100 gram tahu terdapat 7,8 gram protein, 4,6 gram
lemak dan 1,6 gram karbohidrat. Polutan organik yang cukup tinggi tersebut
apabila terbuang ke badan air penerima dapat mengakibatkan terganggunya
kualitas air dan menurunkan daya dukung lingkungan perairan di sekitar industri
tahu.
Penurunan daya dukung lingkungan
tersebut menyebabkan kematian organisme air, terjadinya alga blooming sehingga
menghambat pertumbuhan tanaman air lainnya dan menimbulkan bau (Rossiana,
2006). Industri tahu di daerah Mojosongo, Kota Surakarta menggunakan lebih
kurang 15 kuintal kedelai per hari dan menghasilkan limbah cair sebesar 10-20 m3
per hari. Limbah cair ini berasal dari sisa air tahu yang menggumpal dan air
yang terbuang selama proses pembuatan tahu.
Limbah cair tahu dibuang secara
langsung ke badan air penerima tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu.
Dampak pembuangan limbah tahu ini membuat masyarakat di sekitar industri
pengolahan tahu merasakan bau busuk sebagai akibat dari adanya kondisi
anaerobik yang menghasilkan karbondioksida dan hidrogen sulfida. Limbah cair
industri tahu yang dibuang ke badan air penerima tanpa pengolahan merupakan
salah satu sumber pencemar terhadap perairan yang menyebabkan kematian biota
aquatik sehingga perlu dilakukan penelitian uji toksisitas akut. Uji toksisitas
akut merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan. Uji tersebut
berfungsi untuk mengetahui apakah effluent yang masuk ke badan air yang
merupakan penerima dari limbah yang mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi
tertentu menyebabkan kematian hewan uji yang dinyatakan dalam nilai LC50.
Hewan uji yang digunakan adalah
ikan karena dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun
terhadap senyawa pencemar terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Ikan yang
digunakan yaitu ikan nila (Oreochromis niloticus) karena sangat banyak
terdapat di sungai, danau alami maupun buatan. Ikan nila juga peka terhadap
perubahan lingkungan sehingga dapat ditentukan kadar limbah yang menyebabkan
efek toksik terhadap ikan nila.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Berapa nilai LC50 limbah cair industri tahu di
Mojosongo, Kota Surakarta?
2.
Bagaimana limbah tahu dapat menjadi
bahan toksik terhadap lingkungan?
C.
Tujuan
- Mengetahui
nilai LC50 limbah cair industri tahu di Mojosongo, Kota Surakarta.
- Menjelaskan
alasan bagaimana limbah tahu dapat menjadi bahan toksik terhadap
lingkungan.
D.
Manfaat
1. Mengetahui
untuk mengetahui
tingkat toksisitas limbah tahu terhadap hewan uji.
2. Mengetahui alasan limbah tahu
dapat menjadi bahan toksik bag lingkungan.
0 comments:
Post a Comment