Saturday, January 5, 2013

PENYAKIT AUTOIMUN


PENDAHULUAN

            Diagnosis penyakit autoimun ditegakkan bila keadaan autoimun (respons imun terhadap  diri sendiri) berhubungan dengan pola gejala dan tanda klinik yang dikenali. Keadaan autoimun biasanya ditetapkan berdasarkan deteksi adanya antibodi yang khas dalam sirkulasi penderita.
            Ada dua teori  utama yang menerangkan  mekanisme terjadinya penyakit autoimun. Yang pertama adalah : autoimun disebabkan oleh kegagalan pada delesi normal limfosit untuk mengenali antigen tubuh sendiri. Teori yang berkembang terakhir adalah autoimun disebabkan oleh kegagalan regulasi normal dari sistem imunitas (yang mengandung beberapa sel imun yang mengenali antigen tubuh sendiri namun mengalami supresi). Nampaknya kombinasi faktor lingkungan, genetik dan tubuh sendiri  berperan dalam ekspresi penyakit autoimun.1, 2
            Keberadaan penyakit autoimun pada kehamilan bukan hal yang jarang dijumpai. Beberapa penyakit autoimun dapat menimbulkan dampak yang menonjol dalam kehamilan. Yang lainnya mungkin dipengaruhi oleh kehamilan dan ada juga yang mempunyai bentuk yang khas yang berhubungan dengan kehamilan. Seorang obstetrikus harus mengetahui dengan baik  penyakit autoimun yang sering ditemukan, bagaimana pengaruhnya terhadap kehamilan dan bagaimana pengaruh kehamilan terhadap penyakit autoimun tersebut serta apa akibat yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini terhadap ibu dan janinnya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa penyakit autoimun yang sering ditemukan dalam kehamilan.

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
            Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi kronik yang idiopathic, mengenai kulit, sendi, ginjal, paru-paru, membrana serosa, sistem saraf, hati dan berbagai organ tubuh yang lain. Seperti penyakit autoimun yang lain kejadiannya ditandai oleh periode remisi dan relaps. Gejala yang paling sering ditemukan adalah kelelahan. Demam, penurunan berat badan, myalgia dan arthralgia juga merupakan gejala yang sering ditemukan.1, 3
            Prevalensi penyakit ini berkisar 5-100 per 100.000 individu, wanita dewasa mempunyai kemungkinan 5-10 kali lebih besar untuk menderita penyakit ini dibandingkan dengan pria. Populasi tertentu mempunyai prevalensi yang lebih tinggi, misalnya pada wanita Amerika turunan Afrika prevalensinya tiga kali lebih tinggi dibanding dengan wanita turunan Kaukasian.1, 3
            Predisposisi genetik untuk SLE mencakup beberapa faktor. Kejadian SLE berkisar 5-12% pada keluarga penderita SLE, pada penderita yang kembar monozigot kejadiannya lebih dari 50%. Sejumlah petanda genetik ditemukan lebih sering pada penderita SLE dibanding kelompok kontrol, meliputi HLA-B8, HLA-DR3 dan HLA-DR2. Penderita SLE juga mempunyai frekuensi defisiensi protein komplemen C2 dan C4 yang lebih tinggi.2

Diagnosis

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi yang beredar dalam sirkulasi. Sejumlah antibodi dikenali berhubungan dengan kejadian SLE, yang terutama adalah antinuclear antibodi (ANA). Dahulu dikenali faktor serum yang menyebabkan fenomena lupus erythematosus (LE), suatu autoantibodi yang diketahui melawan nukleoprotein (DNA-histone), namun saat ini fenomena sel LE tidak penting untuk diagnosis dan sudah digantikan oleh pemeriksaan immunofluorescent terhadap ANA yang berperan sebagai uji saring dalam  diagnostik awal terhadap penderita yang dicurigai menginap SLE.1
Antibodi terhadap DNA untai  ganda merupakan pemeriksaan yang paling spesifik untuk SLE dan ditemukan pada 80-90% penderita yang tidak diobati. Peningkatan kadar antibodi ini berhubungan dengan eksaserbasi penyakit dan persalinan prematur. Antibodi terhadap DNA untai tunggal juga meningkat pada penderita SLE yang tidak diobati namun kurang spesifik dibanding antibodi DNA untai ganda.1-3
Tabel 1. Frekuensi gejala klinis SLE (dikutip dari kepustakaan 1 )
Gejala
Penderita (%)
Kelelahan
Demam
Arthralgia, arthritis
Myalgia
Penurunan berat badan
Kulit :
-          ruam berbentuk kupu-kupu
-          fotosensitif
-          lesi membran mukosa
Komplikasi ginjal
Paru-paru:
-          pleurisy
-          efusi
-          pneumonitis
Jantung (perikarditis)
Lymphadenopathy
SSP
- kejang
- psikosis
80-100
80-100
95
70
>60

50
60
35
50

50
25
5-10
10-50
50

15-20
< 25
Pada tahun 1971 American Rheumatism Association (ARA) membuat kriteria diagnosis SLE  yang kemudian di revisi pada tahun 1982. Untuk menegakkan diagnosis SLE diperlukan minimal 4 dari 11 kriteria  pada satu kali pemeriksaan atau pada pemeriksaan serial. Kriteria – kriteria ini sangat sensitif dan spesifik untuk SLE namun perlu diketahui bahwa kriteria ini jangan pernah diharapkan untuk membentuk  sine quo non untuk diagnosis SLE.1, 2
Klasifikasi ARA untuk diagnosis SLE : 1
Malar rash
Discoid rash
Photosensitivity
Oral ulcers
Arthritis (non-deforming arthritis)
Serositis  (pleuritis and/ or pericarditis)
Renal disorder (proteiuria >0,5 g/day or celluler casts)
Neurological disorder (psychosis and/or seizures)
Hematological disorder (leukopenia or lymphopenia / hemolitic anemia / thrombocytopenia)
Immunological disorder (anti-DNA / anti SM/LE cell/ false positive STS)
Antinuclear antibody

Risiko maternal

            Risiko yang paling ditakuti pada masa kehamilan adalah eksaserbasi SLE. Deteksi eksaserbasi SLE pada masa kehamilan sulit dilakukan karena manifestasi khas dari eksaserbasi mungkin merupakan hal yang normal pada kehamilan. Penelitian yang dilakukan Garenstein dkk menemukan bahwa risiko eksaserbasi 3 kali lebih besar pada 20 minggu pertama kehamilan dan 6 kali lebih besar pada 8 minggu pertama postpartum dibanding dengan masa 32 minggu sebelum konsepsi.1, 2, 4
            Beberapa penelitian menemukan  angka kematian janin pada penderita SLE relatif tinggi, sehingga disarankan agar penderita SLE tidak boleh hamil. Secara keseluruhan sekitar 15-60% penderita SLE akan mengalami eksaserbasi dalam masa kehamilan dan postpartum, namun untungnya tigaperempatnya bersifat ringan sampai sedang dan dapat diobati dengan glukokortikoid dosis ringan sampai sedang.1, 3
            Devoe dkk menemukan bahwa eksaserbasi ditandai dengan penurunan kadar C3 dan C4, sedang Lockshin dkk menemukan bahwa kadar Cls-C1 inhibitor complex yang seharusnya meningkat akan menetap pada kebanyakan wanita hamil dengan hypocomplementemia, namun ada pula penelitian lain yang menemukan hypocomplementemia pada kehamilan tanpa SLE dan tidak memprediksi luaran janin yang buruk. Tomer dkk menemukan peningkatan kadar anti-dsDNA berhubungan dengan risiko eksaserbasi dan persalinan prematur, mereka juga menemukan bahwa peningkatan kadar anti-dsDNA  dan antibodi antikardiolipin meningkatkan risiko abortus.1
            Penyakit ginjal merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada SLE (50%). Pada umumnya dianggap bahwa lupus nephritis (LN) berhubungan dengan deposisi kompleks imun yang mengakibatkan aktivasi komplemen dan kerusakan inflamasi jaringan pada ginjal yang ditandai dengan gejala proteinuria pada 75% penderita, dan sekitar 40% dengan hematuria dan pyuria, serta sepertiganya dengan urinary cast. Hasil biopsi ginjal sangat penting untuk menentukan pengobatan dan prognosis. Laporan penelitian terdahulu menyebutkan bahwa LN merupakan kontributor utama untuk morbiditas dan mortalitas ibu. Gambaran patologi biopsi ginjal berupa : diffuse proliferative  glomerulonephritis (DPGN), focal proliferative glomerulonephritis, membranous glomerulonephritis dan mesangial nephritis.1, 2
            Secara keseluruhan pada 20-30% kehamilan dengan SLE terjadi komplikasi pregnancy induced hypertension (PIH), penyebabnya belum diketahui namun mungkin didasari oleh penyakit ginjal yang merupakan suatu faktor yang  berhubungan dengan PIH. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi (> 30 mg prednison) selama kehamilan mungkin pula merupakan faktor predisposisi terjadinya PIH.1, 4

 

Risiko pada janin

            Kematian janin merupakan salah satu risiko SLE pada kehamilan, hal ini mungkin berhubungan dengan disfungsi plasenta yang dibuktikan dengan peningkatan alfa fetoprotein dalam serum ibu hamil yang menderita SLE dibandingkan dengan ibu hamil normal. Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Lockshin dkk menemukan lebih dari  20% kematian janin terjadi pada trimester kedua dan ketiga, namun Wong dkk menemukan tidak ada kematian janin pada 19 kehamilan dengan SLE yang berlanjut.1
            Pada satu penelitian ditemukan bahwa antibodi antiphospolipid merupakan indikator yang sensitif untuk kegawatan janin dan kematian janin. Antibodi antiphospholipid ditemukan pada 10 dari 11 penderita dengan kematian janin dalam rahim dan mempunyai nilai prediksi postif lebih dari 50%.1, 2
            Persalinan prematur lebih sering ditemukan pada penderita SLE dibandingkan dengan ibu hamil normal terutama pada ibu hamil dengan komplikasi eksaserbasi. Mintz dkk menemukan 23% kehamilan yang berakhir dengan gangguan pertumbuhan janin termasuk 4 kasus lahir mati. SLE dengan komplikasi lupus nephritis meningkatkan kejadian restriksi pertumbuhan janin dalam rahim.1, 3
            Neonatal lupus erythematosus (NLE) merupakan kejadian yang jarang (1:20.000 kelahiran hidup) merupakan kondisi yang ditandai dengan abnormalitas kulit, jantung dan hematologik. Lesi kulit adalah kelainan yang paling sering ditemukan ditandai dengan bercak bulat atau elips. Kelainan jantung yang berhubungan dengan NLE adalah congenital complete heart block (CCHB) dan endocardial fibroelastosis, dengan gejala bradikardia 60-80 denyut permenit yang ditemukan pada kehamilan 16-25 minggu. Dapat terjadi hidrops fetalis yang tergantung pada derajat fibrosis endomyocardial dan disfungsi miokard. Oleh karena lesi yang permanen pada CCHB maka diperlukan pemasangan pacu jantung untuk meningkatkan harapan hidup neonatus.1, 3

Penanganan
            Pada masa pra kehamilan diperlukan konseling untuk menjelaskan risiko SLE pada kehamilan baik terhadap ibu maupun janin yang dikandung. Idealnya untuk hamil pasien harus dalam keadaan remisi dan tidak mendapat terapi obat-obat sitotoksik dan NSAID, dan dilakukan pemeriksaan darah dan urin  untuk menyingkirkan adanya anemia, trombositopenia dan penyakit ginjal yang mendasari. Pada masa kehamilan ibu hamil penderita SLE harus diperiksa tiap 2 minggu sekali pada trimester I dan II serta tiap minggu pada trimester III. Pada setiap kunjungan harus ditanyakan tentang aktivitas tanda dan gejala SLE.1, 3
            Berhubungan dengan risiko insufisiensi uteroplasenter maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan USG tiap 4-6 minggu sejak kehamilan 18-20 minggu. Penilaian kesejahteraan janin harus dilakukan pada kehamilan 30-32 minggu. Pada pasien dengan eksaserbasi, hipertensi, proteinuria, pertumbuhan janin terhambat dan APS dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan USG yang lebih sering dan pada usia kehamilan yang lebih dini (24-25 minggu).1, 3
            Bila eksaserbasi terjadi pada masa persalinan maka dianjurkan pemberian hidrokortison 100 mg /iv tiap 8 jam. Kehadiran neonatologist dalam persalinan diperlukan sehubungan dengan kemungkinan komplikasi CCHB dan manifestasi lupus neonatal yang lain. Pengobatan yang diberikan pada masa persalinan diteruskan sampai postpartum, penyesuaian dosis obat dapat dilakukan dalam rawat jalan.1
           
ANTIPHOSPHOLIPID SYNDROME (APS)
            Adalah suatu keadaan autoimun  yang ditandai dengan produksi antibodi antiphospholipid dalam kadar sedang sampai tinggi dan dengan gambaran klinis tertentu seperti trombosis (vena maupun arteri termasuk stroke), trombositopenia autoimun dan abortus. Kemungkinan terjadinya APS lebih sering pada penderita dengan penyakit autoimun seperti SLE disebut APS sekunder, namun dapat pula terjadi pada wanita yang tidak mempunyai penyakit autoimun (APS primer).1, 3

Diagnosis

            Pemeriksaan laboratorium APS masih sulit dan membingungkan, kendalanya karena hanya sedikit laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan dengan kualitas yang baik. Pemeriksaan antibodi antiphospholipid dan lupus anticoagulant (LA) harus dilakukan bersama  berhubung karena hanya 20% penderita APS yang dengan lupus anticoagulant positif. Pada tahun 1987 telah dibuat kesepakatan pada International Anti-Cardiolipin Workshop mengenai interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium yang dilaporkan secara semikuantitatif dan dibagi menjadi, negatif, positif rendah, positif sedang dan positif tinggi. Pemeriksaan yang dilakukan adalah IgG aCL, IgM aCL dan IgA aCL. Mayoritas penderita APS mempunyai LA dan IgG aCL.1, 2
Beberapa peneliti memperkirakan bahwa LA dan aCL merupakan immunoglobulin yang sama yang dideteksi dengan metode pemeriksaan yang berbeda sebab mereka menemukan bahwa pada penderita APS ditemukan salah satu dari LA atau aCL namun tidak pernah menemukan keduanya bersamaan.1
Pemeriksaan lain yang ditawarkan saat ini adalah b2-glycoprotein I (b2-GPI) yang relevan dengan antigen aPL. Banyak peneliti saat ini meyakini bahwa aPL bekerja melawan glycoprotein ini atau lebih mungkin  terhadap glycoprotein ini dan phospholipid, namun belum ada bukti bahwa pemeriksaan ini mempunyai informasi diagnostik yang lebih baik dari pemeriksaan LA dan aCL.1-3
Tabel 2. Kriteria klinis untuk sindroma antiphospholipid (dikutip dari kepustakaan 4)

Kriteria diagnostik

Ditemukan satu atau lebih :
Thrombosis vena / arteri
Abortus berulang
Persalinan prematur sebelum 34 minggu yang berhubungan dengan preeklamsia atau PJT

Gambaran klinis lain

Trombositopenia dan anemia hemolititk
Livedo reticularis
Gangguan di otak khusunya epilepsi, infark otak, chorea dan migrain
Penyakit katup jantung khususnya katup mitral
Hipertensi
Hipertensi pulmonal
Ulkus di tungkai bawah

Risiko maternal
            Berbagai penelitian retrospektif memastikan adanya hubungan antara aPL dan trombosis vena  serta arteri. Kejadian trombosis vena berkisar 65-70% terutama pada ekstremitas bawah.1
            Ada hubungan yang kuat antara LA dan aCL dengan vaskulopathy desidua, infark plasenta, restriksi pertumbuhan janin, preeklamsia dini dan abortus berulang. Seperti pada lupus, penderita penyakit ini juga mempunyai insiden yang tinggi untuk terjadinya trombosis vena dan arteri, trombosis cerebral, anemia hemolitik, trombositopenia dan hipertensi pulmonal.2, 4
            Menurut Chamley (1997) kerusakan platelet mungkin disebabkan langsung oleh antibodi antiphospholipid, atau secara tidak langsug oleh ikatan antara antibodi ini dengan b2-glycoprotein yang menyebabkan platelet mudah mengalami agregasi. Agregasi in akan menyebabkan pembentukan trombus.2
            Data penelitian prospektif yang dilakukan di Universitas Utah menunjukkan insiden trombosis dan stroke pada ibu hamil dengan sindroma ini masing-masing 5% dan 12%. Pada penderita APS dengan kehamilan juga tampak peningkatan kejadian preeklamsia. Beberapa penelitan dilakukan untuk menentukan adanya antibodi antiphospholipid pada penderita preklamsia, pada satu penelitian tidak ditemukan hubungan antara antibodi antiphospholipid dengan kejadian preeklamsia sedang pada 4 penelitian yang lain ditemukan 11,7 – 17% penderita preeklampsia mempunyai kadar antibodi antiphospolipid yang bermakna.1, 3
           

Risiko janin

            Beberapa penelitan terdahulu memberi perhatian terhadap hubungan antara kematian janin  antara 10 –12 minggu dengan aPL, hasilnya lebih dari 90% wanita dengan APS dan kematian janin mempunyai paling sedikit 1 kali riwayat kematian janin.1, 3
            Akibat lain yang ditimbulkan oleh APS terhadap janin adalah gangguan pertumbuhan janin, bahkan pada penderita yang mendapat pengobatan. Kejadian gangguan perrtumbuhan janin pada bayi yang lahir hidup hampir mencapai 30%. Fetas distress juga relatif sering ditemukan pada APS, dan walaupun telah mendapat pengobatan, 50% janin yang dilahirkan oleh ibu penderita APS akan mengalami fetal distress. Demikian pula dengan persalinan prematur yang banyak ditemukan pada penderita APS, pada penelitian dengan jumlah sampel yang besar terhadap ibu hamil penderita APS yang telah diobati, sepertiganya melahirkan pada atau sebelum usia kehamilan 32 minggu 1

Penanganan

            Ibu hamil penderita APS harus kontrol tiap 2 minggu pada paruh pertama kehamilan dan tiap minggu sesudahnya. Pemeriksaan USG dilakukan tiap 3-4 minggu sejak kehamilan 17-18 minggu untuk memantau gangguan pertumbuhan janin, oligohidramnion dan  abnormalitas pada doppler arteri umbilikalis. Pemantauan kesejahteraan janin dilakukan sejak kehamilan 26-28 minggu.1, 2
            Dahulu pengobatan dilakukan dengan pemberian prednison dan aspirin dosis rendah namun pengobatan terkini adalah  pemberian heparin dengan berat molekul rendah dengan atau tanpa aspirin.1-3
            Risiko trombosis pada penderita APS mencapai 70%. Wanita dengan riwayat APS dan tromboembolisme sebelumnya mempunyai risiko yang sangat tinggi dalam kehamilan dan masa nifas dan perlu mendapat tromboprofilaksis antenatal berupa heparin dengan berat molekul rendah 40 mg per hari.4

RHEUMATOID ARTHRITIS

            Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit arthritis yang kronik pada sendi synovial yang mengenai 1/10.000 orang di Amerika Serikat dengan rasio wanita : pria 3:1 dan prevalensi terbanyak pada umur 35-45 tahun. Penyakit ini mengenai sendi pergelangan tangan, lutut, bahu, metakarpal-phalangeal dengan perlangsungan progresif lambat yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi.
            Sampai sekarang etiologinya belum diketahui, pada pemeriksaan histologi tampak synovial diinflitrasi oleh sel-sel inflamasi khususnya limfosit. Ditemukan anti bodi yang khas disebut rheumatoid factor yang bereaksi dengan antigen membentuk kompleks imun yang ditemukan pada synovial dan cairan pleura. Kerusakan inflamasi yang terjadi pada synovial menimbulkan perubahan erosif yang khas pada sendi.1, 2

Risiko maternal

            Hubungan antara rheumatoid arthritis (RA) dan kehamilan sangat menarik kerena dalam masa kehamilan penyakit ini menunjukkan perbaikan yang dramatis. Berbagai penelitian menunjukkan sedikitnya 50% pasien dengan RA yang menunjukkan perbaikan pada sedikitnya 50% kehamilan mereka. Perbaikan ini dimulai pada trimester pertama dan mencapai puncaknya pada trimester dua dan tiga, namun walaupun gejala penyakit ini menunjukkan perbaikan tetapi fluktuasi jangka pendek tetap terjadi seperti pada penderita yang tidak hamil. Tidak ada pemeriksaan laboratorium atau tanda klinis yang dapat memperkirakan adanya perbaikan RA dalam kehamilan. Ada sekitar seperempat penderita yang tidak menunjukkan perbaikan selama kehamilan, dan sejumlah kecil penderita malah menunjukkan gejala yang makin berat. Sayangnya hampir tiga perempat penderita yang telah menunjukkan perbaikan dalam masa kehamilan akan mengalami relaps dan beberapa bulan postpartum.1-3
            Kortisol plasma yang meningkat selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada saat aterm  mungkin merupakan faktor penting dari terjadinya perbaikan RA. Beberapa pendapat mengatakan bahwa protein yang beredar dalam sirkulasi dalam jumlah yang tinggi  atau khas terhadap kehamilan dapat memperbaiki gejala RA, misalnya prenancy associated a2- glycoprotein dan g-globulin yang dihasilkan oleh plasenta. Sedang pendapat lain mengatakan bahwa plasenta mungkin menyebabkan perubahan pada RA dengan membersihkan kompleks imun atau mungkin modifikasi globulin imun selama kehamilan merubah aktifitas inflamasinya.1, 2

Risiko Janin

            Rheumatoid arthritis mungkin tidak berdampak pada fertilitas, sekitar 15-20% ibu hamil dengan  RA akan mengalami abortus, angka ini mungkin  sedikit tinggi atau tidak berbeda dengan wanita normal, beberapa penelitian mendapatkan hasil yang berbeda, namun penderita RA tidak menunjukkan risiko yang bermakna untuk terjadinya persalinan prematur, preeklamsia dan gangguan pertumbuhan janin.1, 2

Penanganan

            Penanganan pada wanita yang tidak hamil sama dengan penanganan penyakit autoimun yang lain. Seperti dengan penderita SLE maka penderita RA yang hamil harus memeriksakan diri ke dokter tiap 2-4 minggu sepanjang kehamilannya. Istirahat merupakan faktor penting dalam penanganan RA, terapi fisik diperlukan pada penderita yang tidak menunjukkan perbaikan dengan kehamilan.1
            Untuk analgesia sebaiknya digunakan acetaminophen. NSAID dan aspirin sedapat mungkin dihindari karena dapat mengakibatkan gangguan hemostasis, kehamilan yang memanjang dan penutupan duktus arteriosus yang dini. Pemberian prednison dosis rendah menunjukkan hasil yang efektif namun tidak boleh digunakan untuk jangka panjang. Obat-obat lain yang sering diberikan  pada penderita RA yang progresif seperti hydroxychloroquine, sulfasalazine, D-penicillamine dan methotrexate merupakan kontraindikasi untuk kehamilan.1
            Perlu kewaspadaan bila pars servikalis dari kolumna vertebralis yang terkena karena dapat  terjadi subluksasi karena kelemahan sendi. Bila mengenai sendi panggul maka dapat menghambat persalinan pervaginam.2

SYSTEMIC SCLEROSIS

            Merupakan penyakit yang  jarang, dikenal pula dengan nama lain scleroderma, yang ditandai dengan fibrosis kulit, pembuluh darah dan organ viscera yang progresif. Prevalensi penyakit ini 1 : 10.000  dengan rasio wanita : pria 3 :1 pada kelompok umur 15 - 44 tahun. Penyebabnya belum diketahui, namun target utama dari penyakit ini adalah sel endotel, suatu faktor serum yang toksik terhadap endotel telah ditemukan pada beberapa penderita.1, 2
            Gambaran klinisnya bervariasi dan morbiditas penyakit ini tergantung pada luasnya permukaan kulit dan organ dalam yang terkena. Sering ditemukan fenomena Raynauld khususnya pada pasien dengan sindroma CREST (calcinosis pada kulit, fenomena Raynauld, dismotilitas esofagus, sclerodactyly dan telangiectasis). Penderita dengan penyakit yang difus akan menampakkan gejala arthritis pembengkakan tangan dan jari serta penebalan kulit yang dimulai pada jari dan tangan   dan bisa meluas ke muka dan leher. Pada kelainan yang berat maka permukaan kulit yang terkena lebih luas dan terjadi deformitas pada tangan dan jari. Fenomena Raynauld dan kerusakan organ dalam yang terkena   menandakan adanya fibrosis arteriole dan arteri-arteri kecil, sehingga bila terjadi respons vasokonstriksi karena berbagai rangsangan seperti udara yang dingin akan menyebabkan obliterasi pembuluh darah yang komplit.1-3
            Pada sebagian besar penderita ditemukan ANA (anti-nuclear antibody) namun anti-ANA tidak ditemukan, hampir setengah penderita  mempunyai serum cryoglobulin. Antibodi terhadap centromere ditemukan pada penderita dengan sindroma CREST namun tidak ditemukan pada kelainan yang difus.1

Risiko Maternal

            Insiden penyakit ini dalam kehamilan tidak diketahui, dalam literatur dilaporkan tidak lebih dari 150 kehamilan dengan systemic sclerosis (SSc). Beberapa kepustakaan terdahulu melaporkan dampak negatif SSc pada kehamilan berupa krisis renal, namun sulit untuk menentukan perubahan pada kehamilan oleh SSc karena banyak gejala pada kehamilan yang sama dengan gejala SSc misalnya edem dan refluks gastrointestinal.1
Walaupun penelitian yang dilakukan Steen dkk menemukan sedikit peningkatan persalinan prematur, restriksi pertumbuhan janin dan kematian perinatal namun nampaknya kehamilan pada penderita SSc tidak menimbulkan masalah bila tidak disertai kelainan ginjal, jantung dan paru. Pada penyakit yang berat dapat menimbukan masalah pada penyembuhan luka.1, 2
Kematian maternal dapat disebabkan oleh scleroderma yang progresif dengan komplikasi pada paru-paru, infeksi, hipertensi dan kegagalan jantung.4
           

Risiko janin

            Diduga dampak yang ditimbulkan pada mikrovaskuler dan gangguan pada ginjal dapat mengakibatkan preeklamsia dan gangguan pertumbuhan janin. Ada satu penelitan melaporkan kejadian preeklamsia 48% pada penderita SSc namun penelitian lain melaporkan insiden preeklamsia sebesar 6%, dan gangguan pertumbuhan janin 10%.1

Penanganan

            Penderita SSc dengan gangguan kardiopulmoner serta gangguan ginjal dianjurkan untuk tidak hamil, dan pada penderita yang hamil dianjurkan untuk melakukan terminasi kehamilan. Hingga saat ini belum ada pengobatan yang memuaskan, pada penderita dengan fenomena Raynauld diberikan vasodilator, dan pada SSc difusa diberikan terapi glukokortikoid seperti pada penderita SLE namun kortikosteroid hanya bermanfaat  pada myositis inflamatory dan anemia hemolititk.1-3

MYASTHENIA GRAVIS

            Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh kelemahan dari otot wajah, orofaringeal, ekstraokuler dan otot anggota gerak. Kelemahan dari otot-otot wajah dapat menyebabkan kesukaran untuk tersenyum, mengunyah dan berbicara. Tanda utama dari penyakit ini adalah peningkatan kelemahan otot pada aktivitas otot yang berulang. Merupakan penyakit yang jarang dengan insiden 1 per 100.000, wanita dua kali lebih banyak dibanding pria. 1-3
Penyebabnya diduga karena serangan autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuro-muscular junction. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin atau receptor-decamethonium complex (anti-AchR) ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita Myasthenia gravis (MG).1
            Abnormalitas thymus juga ditemukan pada sebagian besar penderita MG, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar dan 10-15% dengan tumor thymic jenis lymphoblastic atau epithelial. Tindakan thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan pada masing-masing 35% dan 50%  penderita sehingga diduga MG berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada thymus dan motor endplate atau  abnormal clone dari sel-sel imun di thymus.1
            Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis dan prosedur konfirmasi diagnostik, dengan pemberian antikolinesterase kerja pendek (endrophonium) 210 mg intravena maka kekuatan otot secara dramatis dapat dipulihkan. Tes lain yang lebih canggih dengan elektromyografi serabut tunggal dan pemeriksaan rangsangan saraf berulang.1

Risiko maternal

            Stres emosional yang biasa dialami dalam kehamilan dapat memperburuk efek MG, demikian pula pembesaran uterus dan elevasi diafragma dapat menyebabkan hipoventilasi relatif pada bagian bawah paru, hal ini dapat menambah masalah pada penderita dengan gangguan respirasi. Stres yang disebabkan oleh infeksi berat seperti pyelonefritis dapat  menyebabkan eksaserbasi MG.1, 2
            Perjalanan penyakit MG dalam kehamilan tidak dapat diprediksi. Plauche menemukan bahwa 40% wanita dengan MG mengalami eksaserbasi pada saat kehamilan, 30% tidak menunjukkan perubahan, dan 30% mengalami eksaserbasi postpartum yang biasanya terjadi tiba-tiba dan berakibat serius. Angka kematian maternal pada penderita MG berkisar 4%.1, 3

Risiko Janin

            Plauche menemukan bahwa angka abortus dan kematian janin pada penderita MG tidak berbeda dengan populasi normal, namun angka persalinan prematur meningkat. Alasan teoritis terjadinya persalinan prematur ini karena obat antikolinesterase mempunyai kerja seperti oksitosin. 1
Pasase transplasenter dari antibodi anti-AChR dapat menyebabkan MG pada janin dan neonatus. Ditemukan tiga kasus arthrogryposis, dan juga ditemukan hydramnion yang disebabkan gangguan menelan pada janin. Donaldson dkk menduga kejadian MG pada janin relatif jarang karena adanya alfa fetoprotein yang menghambat kerja anti-AChR terhadap AChR.1, 3

Penanganan

            Antikolinesterase merupakan pilihan pertama dalam pengobatan MG. Dahulu digunakan neostigmin (Prostigmin) namun karena waktu paruhnya singkat maka saat ini yang digunakan adalah pyridostigmin (Mestinon) yang mempunyai waktu paruh yang panjang. Glukokortikoid pada umumnya juga efektif, dan banyak ahli yang menganjurkan pemberian dosis tinggi (prednison 60-80 mg/hari) yang kemudian di kurangi secara bertahap. Thymectomy menghasilkan perbaikan namun mekanisme kerjanya belum jelas.1, 2
            Dalam masa kehamilan pasien dianjurkan memeriksakan diri secara teratur tiap 2 minggu pada trimester pertama dan kedua serta tiap minggu pada trimester ketiga. Hindari stres fisik dan emosional serta pemakaian beberapa jenis obat yang dapat menyebabkan eksaserbasi akut dari MG (tabel 3).1
            Myasthenia gravis tidak  mengenai otot polos sehingga tidak mempengaruhi kala I persalinan, namun pada kala II MG dapat menyebabkan pengaruh pada upaya mengejan, namun rata-rata lama persalinan pada penderita MG dalam batas normal. Semua pasien MG harus dikonsultasikan pada ahli anestesi sejak awal kehamilan. Anestesi epidural mungkin merupakan cara yang terbaik sebab mengurangi kebutuhan analgesia, mencegah terjadinya kecemasan dan kelelahan dan sangat baik untuk persalinan tindakan dengan forcep.1, 2
Tabel 3. Daftar obat-obat yang dapat menyebabkan terjadinya eksaserbasi atau kelemahan otot  pada pasien dengan myasthenia gravis. (dikutip dari kepustakaan 1)

Garam magnesium
Aminoglycosid
Halothane
Propranolol
Tetracycline
Barbiturat
Garam lithium
Trichloethylene
Cholistin
Polymyxin B
Quinine
Lincomycin
Procainamide
Ether
Penicillamine


Penutup

            Telah dibicarakan beberapa jenis penyakit autoimun yang sering dijumpai dan komplikasi serta penanganannya dalam masa kehamilan.





DAFTAR PUSTAKA

1.         Branch D, Porter T. Autoimune disease. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 853-84.
2.         Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Connective tissue disorders. In: Williams Obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill; 2001. p. 1383-99.
3.         Blinder M. Hematological diseases. In: Winn H, Hobbins J, editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon Publishing Group; 2000. p. 437-50.
4.         Letsky E. Coagulation defects in pregnancy and puerperium. In: Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors. Turnbull's obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 311-29.

Tuesday, December 25, 2012

DITERPENOID



 Pengertian
Senyawa diterpenoid adalah senyawa C20 yang bila diamati secara seksama,dapat terlihat bahwa tersususn dari empat unit isoperana C5 (2-metil-1,3-butadiena) yang terikat satu sama lain dalam pola kepala-ekor secara simetris. Konfigurasi ini,yang dalam alam akan membentuk dasar dari aturan biogenetik isoperana, mengantarkan pada pendapat bahwa diterpenoid asiklik geranil-geraniol adalah dalam bentuk pirofosfatnya,merupakan prazat dari sejumlah diterpenoid yang kompleks. Tetapi baru sekarang, geranil-geraniol ditemukan dalam alam dan konversi biologiknya menjadi diterpenoid yang kompleks diteliti dengan studi biogenetik ini dan catatan dari struktur dari sejumlah diterpenoid.
Sejumlah besar diterpenoid berasal dari siklisasi terinduksi proton dari all-trans –geranilgeraniol pirofosfat yang terlipat menjadi konformasi all chair, siklisasi ini dimulai dengan suatu pola trans-anti-trans dan sterokimiawi rantai samping sis. Modifikasi selanjutnya dari kation ini menghasilkan produk yang berupa sedikitnya 30 kerangka diterpenoid(Scheur, 1978)
Sebaliknya, hanya dua golongan dari diterpenoid lautan, yaitu golongan bromolabdana dan turunan asam isoagatat yang berasal dari lautan yang dapat dirasionalisasikan sebagai produkdari skema biogenetik umum yang sama, diterpenoid lautan adalah modifikasi asiklik atau turunannya, misalnya sebagai hasil katabolik atau sistem siklik yang lebih kompleks yang dihasilkan oleh mekanisme dari siklisasi yang sebelumnya tidak pernah dijumpai dalam alam.Besarnya kemungkinan ditemukannya kerangka diterpen yang baru serta adanya potensi untuk ditemukannya senyawa biologis aktif menyebabakan penelitian tentang diterpenoid menjadi suatu bidang yang menarik.
Dalam penelitian ini dasar penelitian adalah melalui sifatnya yang makin kompleks dimulai dari contoh siklik, bisiklik dan monosiklik sampai pada sistem polisiklik yang lebih kompleks.Senyawa bromoditerpenoid dibuat terpisah dan dibicarakan secara tersendiri, karena biogenesisnya yang khas, bagian tentang produk katabolik dari diterpenoid dan yang mempunyai biogenetik campuran juga dimasukkan karena mereka memberikan tambahan pengetahuan tentang diterpenoid dalam metabolisme skunder.
Senyawa diterpeniod sampai saat ini masih dianggap sebagai komponen yang langka, asal usul senyawa ini terutama berasal dari gulma laut tropis dan coelentrata dari bangsa Alcyonaceae, dengan beberapa contoh yang disisolasi dari bunga karang, Penemuan-penemuan luar biasa dari sistem cincin yang tidak menurut aturan dan tidak diperkirakan akan menjadi dasar dari perkembangan yang berkesinambungan dalam bidang ini(Tim KBK, 2011)

 Manfaat Diterpenoid,
Menurut Gunawan (2008) dalam penelitiannya, manfaat diterpenoid diantaranya yaitu :
1.        Sebagai pengatur pertumbuhan (seskuiterpenoid absisin dan diterpenoid giberellin)
2.        Sebagai hormon pertumbuhan tanaman, podolakton inhibitor pertumbuhan tanaman, antifeedant serangga, inhibitor tumor, senyawa pemanis, anti fouling dan anti karsinogen (diterpenoid)
3.        Sebagai antibakteri pada herba meniran.

 Biosintesis Diterpenoid
Secara umum biosintesa dari terpenoid terjadi 3 reaksi dasar yaitu:
1.    Pembentukan isoprene aktif berasal dari asam asetat melalui asam mevalonat.
2.    Penggabungan kepala dan ekor dua unit isoprene akan membentuk mono-, seskui-, di-. sester-, dan poli-terpenoid.
3.    Penggabungan ekor dan ekor dari unit C-15 atau C-20 menghasilkan triterpenoid dan steroid.
Mekanisme dari tahap-tahap reaksi biosintesis terpenoid adalah asam asetat setelah diaktifkan oleh koenzim A melakukan kondensasi jenis Claisen menghasilkan asam asetoasetat.
            Senyawa yang dihasilkan ini dengan asetil koenzim A melakukan kondensasi jenis aldol menghasilkan rantai karbon bercabang sebagaimana ditemukan pada asam mevalinat, reaksi-reaksi berikutnya adalah fosforialsi, eliminasi asam fosfat dan dekarboksilasimenghasilkan  isopentenil (IPP) yang selanjutnya berisomerisasi menjadi dimetil alil piropospat (DMAPP) oleh enzim isomeriasi. IPP sebagai unti isoprene aktif bergabung secara kepala ke ekor dengan DMAPP dan penggabungan ini merupakan langkah pertama dari polimerisasi isoprene untuk menghasilkan terpenoid.
            Penggabungan ini terjadi karena serangan electron dari ikatan rangkap IPP terhadap atom karbon dari DMAPP yang kekurangan electron diikuti oleh penyingkiran ion pirofosfat yang menghasilkan geranil.pirofosfat (GPP) yaitu senyawa antara bagi semua senyawa monoterpenoid.
            Penggabungan selanjutnya antara satu unti IPP dan GPP dengan menaisme yang sama menghasilkan Farnesil pirofosfat (FPP) yang merupakan senyawa antara bagi semua senyawa seskuiterpenoid. Senyawa diterpenoid diturunkan dari Geranil-Geranil Pirofosfat (GGPP) yang berasal dari kondensasi antara satu unti IPP dan GPP dengan mekanisme yang sama.


 Aktivitas Diterpenoid
     1. Antibacteria
            Menurut Gunawan (2008) unit diterpenoid aktiv pada herba meniran sebagai antibacteri.
            Ekstraksi senyawa terpenoid dilakukan dengan dua cara yaitu: melalui sokletasi dan maserasi
       Sekletasi
            Disokletasi pada serbuk kering yang akan diuji dengan 5L n-hexana. Ekstrak n-hexana dipekatkan, lalu disabunkan dalam 50 mL KOH 10%. Ekstrak n-heksana dikentalkan lalu diujifitokimia dan uji aktifitas bakteri.
      Teknik maserasi menggunakan pelarut methanol.
            Ekstrak methanol dipekatkan lalu lalu dihidriolisis dalam 100 mL HCl4M.hasil hidrolisis diekstraksi dengan 5 x 50 mL n-heksana. Ekstrak n-heksana dipekatkan lalu disabunkan dalam 10 mL KOH 10%. Ekstrak n-heksanadikentalkan lalu diuji fitokimia dan uji aktivitas bakterI
      Hasil uji aktivitas ekstrak n–heksanaa terhadap bakteri Escherichia coli ATCC® 25292 dan Staphylococcus aureus ATCC® 25293 menunjukkan fraksi n–heksanaa hasil sokletasi memberikan daya hambat yang lebih baik
Ekstrak n-heksana dimurnikan dengan sokletasi dan Kromatografi kolom dan gas , menunjukkan hasil sokletasi mengandung dua buah senyawa yaitu phytadiene ( termasuk dalam diterpenoid) dan senyawa 1,2-seco-cladiellan m/z 335 [M+- H].

2. Anticancer
       Menurut Pandi (2011) Ekstrak  Morinda citrifolia yang mengandung taxol, efektif digunakan sebagai antitumor/antikanker, utamanya pada kanker payudara. Penelitian ini membuktikan bahwa jamur endofit L. theobromae adalah calon yang sangat baik untuk alternatif sumber pasokan taxol. Konfirmasi dari kegiatan vitro dalam dari taxol terhadap baris sel kanker payudara manusia harus mendorong penelitian lebih lanjut.
      Ektraksi taxol dari Morinda citrifolia , disaring dengan kain katun tipis. Filtrat taxol ditambah 0,25g Na2CO3, kemudian maserat diekstraksi dengan pelarut dikloromethan 1:2.
      Penguapan pelarut dengan rotary evaporator. Residu padat dilarutakan kembali dengan methanol untuk pemisahan. Dianalisa dengan kromatografi dan spektroskopi.
      Efek sitotoksik taxol jamur diuji oleh MTT assay pada MCF-7 (lini sel kanker payudara manusia)
      Sel-sel yang digunakan dalam 96 mikro baik di konsentrasi 5 x 104 sel / ml dengan s Dulbecco dimodifikasi media yang mengandung 10% serum janin sapi (FBS) dan 1% penisilin (10000 IU / ml) - streptomisin (10000 g / ml?). Sel diinkubasi selama 24 jam di bawah 5% CO2, 95% O2 pada 37 ° C
      Hasil Penelitian
Untuk mengevaluasi peracunan terhadap payudara manusia
taksol
diisolasi dalam medium kultur MID . Uji kandungan taksol dg analisa  kromatografi dan spektroskopi . Kuantitas taksol dihasilkan oleh jamur dihitung dan diperkirakan 245 mg / l. Taxol jamur diuji untuk bioaktivitas terhadap sel kanker garis manusia (MCF-7) dan hasilnya menunjukkan bahwa, taksol yang memiliki aktivitas antikanker .

3. Ginggolida
Merupakan golongan diterpenoid yang terdapat dalam tanaman ginkgo biloba. Ginkgolida dapat menurunkan agregasi platelet, reaksi alergi, dan inflamas. Gangguan fungsi otak pada manula sering kali muncul akibat proses oksidasi yang menimbulkan kerusakan. Ginkgo dapat mencegah oksidasi karena sifatnya sebagai antioksidan. Meski ginkgo efektif bagi peningkatan sirkulasi darah pada manula, sebenarnya ginkgo dapat pula memperbaiki fungsi mental pada orang-orang yang lebih muda. Fungsi mental yang dimaksud di sini khususnya menyangkut aspek memori dan keterjagaan (alertness). Senyawa aktif : diterpenes (termasuk senyawa terpene yang disebut ginkgolides)
Fungsi: Ginkgo dianggap sebagai ramuan yang hebat karena memiliki banyak manfaat dalam aplikasi pengobatan. Kemampuan Ginkgo untuk meningkatkan oksigen ke jaringan hidup dengan meningkatkan aliran darah membuat Ginkgo penting untuk sejumlah gangguan termasuk masalah jantung, stroke, dan kepikunan geriatri. Secara tradisional, orang Cina telah menggunakan ginkgo untuk mengobati bronkial, asma dan paru. Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan bahwa senyawa tertentu yang terkandung dalam ginkgo telah terbukti efektif melebarkan arteri, vena dan kapiler, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah perifer. Hal ini bermanfaat terhadap sirkulasi darah ke otak. Karena efektif meningkatkan aliran darah otak, ginkgo mungkin memiliki potensi penting untuk mengobati kepikunan, kehilangan memori jangka pendek, tinitus (dering di telinga) dan jenis-jenis penyakit pembuluh darah lainnya. Ginkgo telah digunakan untuk penyakit Raynaud, klaudikasio tenda berhenti sebentar, mati rasa, vertigo dan impotensi. Selain itu juga, Ginkgo dapat berfungsi sebagai antioksidan yang sangat baik, karena kandungan bioflavonoid nya. Ginkgo juga berpartisipasi dalam regulasi enzim dan melindungi pembuluh darah terhadap plak dan kerusakan hati
Description: D:\data kuliah\semester 5\Biokimia bahan alam\ginkgo.jpg
Ginkgo biloba L.
(Khomsan, 2003)

Diterpenoid Asiklik
1.      Fitol dan Fitadiena
Meskipun geranil-geraniol merupakan komponen yang jarang ada dalam tumbuhan dan hewan, dan belum ditemukan dari sumber lautan, senyawa analog yang lebih jenuh yaitu trans – fitol yang merupakan komponen yang terdapat dalam tumbuhan lautan dan daratan, fitol secara umum muncul dalam bentuk ester dari rantai samping asam propionat dalam klorofil a dan b dan biasanya hanya diisolasi dari pigmen tersebut,setelah penyabunan. Sintesis dari 4 prazat yang optis aktif, telah membuktikan konfigurasi 7R, 11R dari bahan alami.
Dalam alam fitol yang diproduksi oleh tumbuhan jelas dipindahkan sepanjang jaring-jaring makanan kepada hewan herbivora. Dalam lautan,proses ini harus dimulai dari tumbughan uniseluler, yaitu fitoflankton dan peredatornya invertebrata mikrosporik atau zooplankton, Meskipun fitol belum pernah dilaporkan merupakan komponen dari zooplangton, sejumlah hidrokarbon yang saling erat hubungannya, telah melakukan isolasi dari Gulf of maine suatu koleksi campuran dari zooplangton, sejumlah hidrokarbon yang saling dekat hubungannya, yaitu fitadiena Olefin-olefin ini telah diisolasi dengan cara kromatografi gas preparatif dan dikarakterisasi dengan kombinasi analisis spektral dan modifikasi kimiawi,ditunjang dengan asal-usul dari dieana tersebut dalam fitol yang diproduksi oleh tumbuhan, pencampuran yang terakhir ini dengan asam oksalat dalam kondisi dehidrasi lunak akan menghasilkan suatu campuran dari fitadiena yang serupa komposisinya dengan yang teramati di alam.
Manfaat Fitol, menurut Jhon T Mackie, periset Departemen Patobiologi, Texas University, Amerika Serikat, dalam organ hati, fitol dimetabolisme menjadi asam fitanat dan pristanat. Asam organic itu merupakan senyawa pengikat peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPARy) yang menghambat ekspresi gen penyebab oksidasi asal lemak pada peroksisome dan mitokondria yang akhirnya menjadi sel kanker. Sehingga pemanfaatan fitol dalam diterpenoid ini dapat digunakan sebagai anti kanker.
2.      Krinitol
Meskipun geranilgeraniol belum diisolasi dari sumber lautan, 9-hidroksi-geranilgeraniol (krinitol) telah berhasil diisolasi dari gulma laut coklat Mediteranea Cystoseira crinita(Phaeophyta),Struktur dasar dari krinitol telah ditentukan dengan cara membandingkan produk reduksi natrium utamanya dalam amonia cair 2, 6, 10, 14-tetrametilheksadeka-2,6,10,14-tetraena dengan sampel asli.
Gugus hidroksi skundernya posinya ditentukan pada C-9 berdasarkan pada multiplkasi kopling dari protein dalam spektrum, fragmentasi spektra massa dari krinitol menunjukkan fragmentasi yang nyata yang mendukung posisi dari hidroksil skunder pada C-9, dalam studi yang sama suatu senyawaC14 terdegradasi, oksokrinol, yang asl-usul terpenanya jelas telah diisolasi.
3.      Isonitril Halichondria
Telah diketahui bahwa sifat karakteristik dari bunga karang tertentu adalah sintesis metabolit yang mempunyai gugus fungsional isonitril, Isonitril adalah komponen langka dalam organisme daratan dan telah diisolasi hanya dari jamur marga Penicillium dan Trichoderma alam bunga karang lautan paling sedikit ada lima marga yang telah diketahui menghasilkan senyawa Isonitril dan yang unik adalah semua metabolit tersebut adalah seskuiterpenoid,dalam diterpenoid dua senyawa telah dipelajari suatu senyawa asiklik atau suatu molekul tersiklik (Scheur, 1998).
Diterpen siklik
Geranil- geraniol telah dipostulatkan sebagai suatu precursor umum dari diterpen siklik pada tahun 1953. Telah dipertunjukan bahwa geranil-geraniol pirofosfat (1) telah berubah secara serentak menjadi kaurene
·         Xeniana, Xenisin, dan Diktiodial
Telah diketahui tetapi tidak sering terlihat hahwa metabolit dari kerangka terpenoid yang sama dapat diisolasi dari tumbuhan dan hewan. Contoh, yang baru adalah metabolit koral lunak xenisin dan senyawa yang ada hubungannya diktiodial yang telah dipisahkan dari gulma laut Dicryora.
·         Dilofol
MDescription: http://dc131.4shared.com/doc/eSNIwP0i/preview_html_m1388e2fc.pngetabolit dari marga ganggang coklat yang ada hubungan biologisnya, Dictyota, Pachydicryon, dan Dotiphns dibicarakan dalam berbagai bagian dari bab ini; penggolongan mereka dibuat terpisah berdasarkan perbedaan sistem cincin mereka. Metabolit- metabolit ini herhubungan erat dan dalam banyak hal, mereka dapat segera dirasionalisasikan (Scheur, 1998)
















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Senyawa diterpenoid adalah senyawa C20 yang bila diamati secara seksama,dapat terlihat bahwa tersususn dari empat unit isoperana C5 (2-metil-1,3-butadiena) yang terikat satu sama lain dalam pola kepala-ekor secara simetris. Senyawa ini mempunyai bioaktifitas yang cukup luas yaitu sebagai hormon pertumbuhan tanaman, podolakton inhibitor pertumbuhan tanaman, antifeedant serangga, inhibitor tumor, senyawa pemanis, anti fouling dan anti karsinogen. Senyawa diterpenoid dapat berbentuk asiklik, bisiklik, trisiklik dan tetrasiklik.
2. Secara umum biosintesa dari terpenoid terjadi 3 reaksi dasar yaitu:
a)      Pembentukan isoprene aktif berasal dari asam asetat melalui asam mevalonat.
b)      Penggabungan kepala dan ekor dua unit isoprene akan membentuk mono-, seskui-, di-. sester-, dan poli-terpenoid.
c)      Penggabungan ekor dan ekor dari unit C-15 atau C-20 menghasilkan triterpenoid dan steroid.
3. Contoh senyawa diterpenoid adalah : Xeniana, Xenisin,  Diktiodial, Dilofol, Krinitol, Fitolda, Fitadiena, dan Ginggolida.




DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1996, GINKGO BILOBA The Extraordinary Herb that Boosts Circulation and  Enhances Brain Funct ion, Woodland Publishing, Pleasant Grove, UT
Gunawan, I.W.G. I G. A. Gede Bawa, dan N. L. Sutrisnayanti. 2008. Isolasi Dan  Dentifikasi Senyawa Terpenoid Yang Aktif Antibakteri Pada Herba Meniran (Phyllanthus niruri Linn). Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran. ISSN 1907-9850

Khomsan, Ali, 2003, Substansi Antagonis PAF dalam Ginkgo Biloba, Wacana Ekonomi, Kompas, Jakarta (16 Desember 2003)
Pandi, Mohan. Rangarajulu Senthil Kumaran2*, Yong-Keun Choi2, Hyung Joo Kim2 and Johnpaul Muthumary. 2011. Isolation and detection of taxol, an anticancer drug produced from Lasiodiplodia theobromae, an endophytic fungus of the medicinal plant Morindacitrifolia. African Journal of Biotechnology Vol. 10(8), pp. 1428-1435,
Scheur, J. Paul., 1978, Produk Alami Lautan dari Segi Kimia dan Biologi Jilid 2, Academy Press NewYork San Fransisco: London.
Tim KBK Kimia Organik, 2011, Kimia Organik Bahan Alam, FMIPA Unimed: Medan