Wednesday, May 2, 2018

Uji Antagonis In Vitro



I.     Pendahuluan
A.  Latar Belakang
In vitro adalah istilah yang dipakai dalambiologi untuk menyebutkan kultur suatu seljaringan, atau bagian organ tertentu di dalamlaboratorium. Istilah ini dipakai karena kebanyakan kultur artifisial ini dilakukan di dalam alat-alat laboratorium yang terbuat dari kaca, seperti cawan petrilabu Erlenmeyertabungkultur, botol, dan sebagainya.Kultur jaringan dan berbagai variasinya biasa disebut sebagai pembiakan in vitro.
Pengendalian terhadap patogen tanaman saat ini masih bertumpu pada penggunaan pestisida sintetik. Namun penggunaan pestisida sintetik secara terus-menerus dapat menim-bulkan berbagai macam dampak negatif. Fungi antagonis seharusnya memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga mampu mengungguli fungi endofit dalam penguasaan ruang, oksigen, dan nutrisi yang pada akhirnya mampu menekan perkembangan patogen. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan pertumbuhan masing-masing agensia hayati dan patogen pada biakan tunggal.
B.  Tujuan
1.      Mahasiswa mampu melakukan uji antagonis in vitro.
2.      Mahasiswa mampu menghitung persentase daya hambat dan mengetahui mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonis.
II.  Metode
A.  Alat dan Bahan
Skalpel, petridish, water agar, koloni fungi endofit, koloni fungi patogen.

B.  Cara Kerja
1.    Fungi patogen dan fungi endofit ditumbuhkan pada medium PDA (cawan petri ukuran 9 cm) selama 7 hari.
2.    Pada cawan petri (diameter 9 cm) berisi media PDA, diinokulasikan koloni fungi patogen dan koloni fungi endofit berdiameter 5 mm dengan jarak antar koloni 5 cm.
3.    Fungi diinkubasi dalam gelap pada suhu 25° C. Untuk kontrol pada cawan petri diinokulasikan cetakan koloni fungi patogen diameter 5 mm dan cetakan medium water agar 5 mm, jarak antar kolon fungi patogen dan water agar 5 cm.
4.    Pengukuran jarak pertumbuhan fungi patogen dilakukan pada hari ke 1, 3,5, dan 7, jarak antar koloni patogen dan water agar 5 cm.
5.    Persentase penghambatan pertumbuhan fungi patogen oleh fungi endofit dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan
P = Persentase penghambatan
R1 = Jarak pertumbuhan koloni
R2 = Jarak pertumbuhan fungi patogen mendekati tepi cawan petri.
1.    Media PDA cair yang sudah disiapkan dituang secara steril dengan pemanasan bagian ujung enlenmeyer dengan api bunsen.
2.    Secara cepat dituang kurang lebih 15-20 ml media ke petridish.
3.    Petridish ditutup sebagian dan dibiarkan kurang lebih 15-20 menit atau sampai media menjadi padat.
4.    Media siap digunakan


III.   Hasil dan Pembahasan
A.    Hasil
A         : Patogen
1,2,3    : Endofit
R2       : 2 cm
R1 (1 vs A)     : 1,5 cm
R1 (2 vs A)     : 1 cm
R1 (3 vs A)     : 0,9 cm

              78, 6%
               85,7%
              87,1%

B.     Pembahasan
Uji antagonis adalah suatu cara untuk mengukur kemampuan bakteri atau fungi antagonis terhadap pathogen pada skala invitro (skala laboratorium). Tujuanya untuk mengetahui kemampuan fungi tersebut dalam menekan petumbuhan dan perkembngan pathogen.  Fungi antagonis mempunyai kemampuan dalam menghambat perkembangan patogen dengan berbagai mekanisme, antara lain melalui kompetisi ruang dan nutrisi, antibiosis dengan menghasilkan antibiotik tertentu berupa senyawa kimia yang mudah menguap (volatile) dan tidak menguap (non volatile) (Ajith & Lakshmidevi, 2010) atau lytic enzyme (kitinase, protease, dan glukanase), parasitisme dengan melilit hifa patogen, dan induksi ketahanan tanaman (Agrios, 2005; Pal & Gardener, 2006).
Pada praktikum kali ini digunakan empat macam fungi yang belum teridentifkasi. Fungi A sebagai patogen dan fungi 1,2, dan 3 sebagai endofit. Hasil yang diperoleh adalah fungi 1 78,6%, fungi 2 85,7% dan fungi 3 87,1%. Jika dilihat dari persentase pertumbuhan maka fungi antagonis yang paling efektif adalah fungi no 3 yang mampu menekan pertumbuhan fungi antagonis. Jika dilihat dari hasil foto pada fungi 1 masih ada jarak antar koloni sedangkan untuk fungi ke 2 dan 3 terlihat membaur satu sama lain.
Mekanisme interaksi yang terjadi antara fungi patogen dengan fungi antagonis didasarkan pada kriteria yang dikemukakan oleh Porter (1942), yaitu:
a.         Kompetisi, apabila koloni fungi antagonis menutupi koloni patogen dan pertumbuhan fungi antagonis lebih cepat untuk memenuhi cawan petri berdiameter 9 cm. Pada daerah kontak, hifa patogen mengalami lisis.
b.         Antibiosis, apabila terbentuk zona kosong di antara fungi patogen dengan fungi antagonis, terdapat perubahan bentuk hifa patogen, dan dihasilkan pigmen di permukaan bawah koloni fungi antagonis.
c.         Parasitisme, apabila hifa fungi antagonis tumbuh di atas hifa patogen, pada daerah kontak ditemukan hifa fungi antagonis melilit hifa patogen, serta mengalami lisis.
IV.   Kesimpulan
Uji antagonis secara in vitro menggunakan satu patogen dan tiga fungi endofit. Dari praktikum yang dilakukan hasilnya berbeda dengan tiga jenis fungi yag berbeda. Fungi yang paling efektif adalah no 3 sebanyak 87,1 %.

Daftar Pustaka
Agrios, G. N. (2005). Plant pathology (p. 922). Fifth Edition. USA: Elsevier Academic Press.
Ajith, P.S., & Lakshmidevi, N. (2010). Effect Of Volatile And Nonvolatile Compounds From Trichoderma Spp. Against Colletotrichum Capsici Incitant Of Anthracnose On Bell Peppers. Nature and Science, 8(9), 265–269.
Porter, C.L. (1942). Concerning The Characters Of Certain Fungi As Exhibited By Their Growth In The Presence Of Other Fungi. AM.J.Bot., 11, 168–188.

Pengukuran Laju Pertumbuhan Fungi



I.     Pendahuluan
A.  Latar Belakang
Pertumbuhan umumnya didefinisikan sebagai pertambahan massa suatu organisme yang terjadi setelah periode waktu tertentu. Pertumbuhan merupakan hasil bersih pelipatgandaan molekular dan selular serta perubahan morfologis. Sebelum mempelajari pertumbuhan fungi, ada baiknya kita mempelajari lebih dulu metode pengukuran pertumbuhan dan cara-cara analisa pertumbuhan fungi. Hal ini menjadi dasar untuk membahas mekanisme pertumbuhan fungi, baik yang berfilamen maupun yang tak berfilamen, serta beberapa faktor yang mempengaruhi proses yang kompleks terrsebut. 
Pertumbuhan merupakan salah satu karakteristik penting sel hidup. Pertumbuhan mikroorganisme dapat didefinisikan sebagai peristiwa peningkatan volum suatu organisme yang disertai peningkatan biomassa. Pada fungi pertumbuhan ditandai dengan pemanjangan hifa dan pada fungi uniseluler, seperti ragi, ditandai dengan peningkatan volum sel individu dan jumlah sel yang secara keseluruhan menghasilkan peningkatan biomassa. Pertumbuhan fungi pelapuk putih sebagaimana mikroorganisme lainnya mengikuti suatu pola tertentu dan laju pertumbuhan spesifik (µ) merupakan salah satu parameter penting untuk mengevaluasi kinerja suatu mikroorganisme dalam kultur. Parameter lain yang juga penting adalah laju pertumbuhan koloni secara radial (Kr) (Reeslev dan Kjøller, 1995). Pengaluran diameter koloni terhadap waktu akan membentuk kurva pertumbuhan sehingga dapat ditentukan nilai laju pertumbuhan koloni arah radial (Kr). Pada fase log, pertumbuhan koloni dapat dianggap lurus sehingga kurvanya membentuk garis lurus. Kemiringan (slope) garis tersebut merupakan laju pertumbuhan koloni arah radial (Kr).
B.  Tujuan
Mahasiswa dapat melakukan pengukuran laju pertumbuhan radial koloni fungi mikroskopis.
II.  Metode
A.  Alat dan Bahan
Skalpel, Petridish, penggaris, spidol, PDA, kultur murni fungi mikroskopis.
B.  Cara Kerja
1.    Buatlah kultur murni fungi dengan cara memotong koloni fungi terpilih berukuran 0.5 x 0.5 cm2 yang diambil dari bagian tepi kultur fungi dan meletakkannya pada media PDA baru dibagian tengah.
2.    Ukurlah diameter koloni pada 1, 3, 5, dan 7 hari setelah inokulasi.
3.    bandingkan diameter koloni terukur untuk masing-masing fungi mikroskopis yang diamati.

III.   Hasil dan Pembahasan
A.  Hasil
Tabel Pengukuran Laju Pertumbuhan dalam Cm
Hari  ke/Isolat
I
III
V
A
D1 1,2
D2 1,5
Total : 1,4
D1 4
D2 4,2
Total : 4,1
D1 8,6
D2 8,5
Total : 8,5
I
D1 3
D2 3,4
Total : 3,2
Full
Full


B.  Pembahasan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi Setiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan, begitu pula fungi. Kurva tersebut diperoleh dari menghitung massa sel pada kapang atau kekeruhan media pada khamir dalam waktu tertentu. Kurva pertumbuhan mempunyai beberapa fase (Gandjar, 2006) antara lain : Universitas Sumatera Utara 1. Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan, pembentukan enzim-enzim untuk mengurai substrat; 2. fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi fase aktif; 3. fase eksponensial, merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat banyak, aktivitas sel sangat meningkat, dan fase ini merupakan fase yang penting dalam kehidupan fungi. Pada awal dari fase ini kita dapat memanen enzim-enzim dan pada akhir dari fase ini atau; 4. fase deselerasi (Moore-Landecker, 1996 dalam Gandjar, 2006), yaitu waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah, kita dapat memanen biomassa sel atau senyawa-senyawa yang tidak lagi diperlukan oleh sel-sel; 5. fase stasioner, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini merupakan garis lurus yang horizontal. Banyak senyawa metabolit sekunder dapat dipanen pada fase stasioner; 6. fase kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati atau tidak aktif sama sekali lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.
Pada praktikum ini digunakan dua jenis isolat yaitu fungi A dan I yang diamati pada hari ke 1, 3 dan 5. Fungi A pertumbuhannya lebih lambat daripada fungi I namun selalu mengalami pertambahan diameter hifa. Pada hari ke 5 fungi A memiliki diameter 8,5 cm. Fungi I pertumbuhannya sangat cepat hingga hari ke 2 sudah memenuhi cawan petri.
Pada umumnya pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh (Gandjar, 2006):
a.    Substrat Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Nutrien-nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengekskresi enzim-enzim ekstraselular yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Misalnya, apabila substratnya nasi, atau singkong, atau kentang, maka fungi tersebut harus mampu mengekskresikan enzim α-amilase untuk mengubah amilum menjadi glukosa. Senyawa glukosa tersebut yang kemudian diserap oleh fungi. Apabila substratnya daging, maka fungi tersebut harus mengeluarkan enzim yang proteolitik untuk dapat menyerap senyawa asam-asam amino hasil uraian protein. Contoh yang lain lagi, misalnya substratnya berkadar lemak tinggi, maka fungi tersebut harus mampu menghasilkan lipase agar senyawa asam lemak hasil uraian dapat diserap ke dalam tubuhnya. Fungi yang tidak dapat menghasilkan enzim sesuai komposisi substrat dengan sendirinya tidak dapat memanfaatkan nutrien-nutrien dalam substrat tersebut.
b.    Kelembapan Faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Pada umumnya fungi tingkat rendah seperti Rhizopus atau Mucor memerlukan lingkungan dengan kelembapan nisbi 90%, sedangkan kapang Aspergillus, Penicillium, Fusarium, dan banyak hyphomycetes lainnya dapat hidup pada kelembapan nisbi yang lebih rendah, yaitu 80%. Fungi yang tergolong xerofilik tahan hidup pada kelembapan 70%, misalnya Wallemia sebi, Aspergillus glaucus, banyak strain Aspergillus tamarii dan A. Flavus (Santoso et al., 1998 dalam Gandjar, 2006). Dengan mengetahui sifat-sifat fungi ini penyimpanan bahan pangan dan materi lainnya dapat dicegah kerusakannya.
c.    Suhu Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, fungi dapat dikelompokkan sebagai fungi psikrofil, mesofil, dan termofil. Fungi psikofril adalah fungi yang dengan kemampuan untuk tumbuh pada atau Universitas Sumatera Utara dibawah 00C dan suhu maksimum 200C. Hanya sebagian kecil spesies fungi yang psikofril. Fungi mesofil adalah fungi yang tumbuh pada suhu 10-350C, suhu optimal 20-350C. Fungi dapat tumbuh baik pada suhu ruangan (22-250C). Sebagian besar fungi adalah mesofilik. Fungi termofil adalah fungi yang hidup pada suhu minimum 200C, suhu optimum 400C dan suhu maksimum 50-600C. Contohnya Aspergillus fumigatus yang hidup pada suhu 12-550C. Mengetahui kisaran suhu pertumbuhan suatu fungi adalah sangat penting, terutama bila isolat-isolat tertentu akan digunakan di industri. Misalnya, fungi yang termofil atau termotoleran (Candida tropicalis, Paecilomyces variotii, dan Mucor miehei), dapat memberikan produk yang optimal meskipun terjadi peningkatan suhu, karena metabolisme funginya, sehingga industri tidak memerlukan penambahan alat pendingin.
d.   Derajat keasaman lingkungan pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi menyenangi pH di bawah 7.0. Jenis-jenis khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4.5-5.5. Mengetahui sifat tersebut adalah sangat penting untuk industri agar fungi yang ditumbuhkan menghasilkan produk yang optimal, misalnya pada produksi asam sitrat, produksi kefir, produksi enzim protease-asam, produksi antibiotik, dan juga untuk mencegah pembusukan bahan pangan.
e.    Bahan kimia Bahan kimia sering digunakan untuk mencegah pertumbuhan fungi. Senyawa formalin disemprotkan pada tekstil yang akan disimpan untuk waktu tertentu sebelum dijual. Hal ini terutama untuk mencegah pertumbuhan kapang yang bersifat selulolitik, seperti Chaetomium globosum, Aspergillus niger, dan Cladosporium cladosporoides yang dapat merapuhkan tekstil, atau meninggalkan noda-noda hitam akibat sporulasi yang terjadi, sehingga menurunkan kualitas bahan tersebut. Selama pertumbuhannya fungi menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak diperlukannya lagi dan dikeluarkan ke lingkungan. Senyawa-senyawa tersebut merupakan suatu pengaman pada dirinya terhadap serangan oleh mikroorganisme lain termasuk terhadap sesama mikroorganisme. Manusia memanfaatkan senyawa-senyawa tersebut, yang kita kenal sebagai antibiotik, untuk mencegah berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme.


IV.   Kesimpulan
Dari raktikum yang dilakukan pertumbuhan fungi megalami petambahan setelah tiga kali pengamatan pada hari ke 1, 3 dan 5. Fungi I pertumbuhannya lebih cepat dari fungi A dengan hifa yang sudah memenuhi cawan petri pada hari ke dua pengamatan.

Daftar Pustaka
Reeslev, M. dan Kjøller, A. (1995), “Comparison of Biomass Dry Weight and Radial Growth Rates of Fungal Colonies on Media Solidified with Different Gelling Compounds”, APPLIED AND ENVIRONMENTAL MICROBIOLOGY, 61, hal. 4236 – 4239.
Dwijoseputro, 1990, Dasar-dasar mikrobiologi, Djambatan: Jakarta.
Dwijoseputro, 1992, Mikrobiologi Pangan, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Identifikasi Fungi Mikroskopis



I.     Pendahuluan
A.  Latar Belakang
Fungi adalah makhluk hidup yang akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Fungi atau fungi bervariasi dalam ukuran, dari ragi yang uniseluler sampai fungi multiseluler, seperti fungi payung dan fungi kuping yang tumbuh di kayu. Pada umumnya, fungi memiliki 3 karakteristik utama, yaitu (1) eukariotik, (2) menggunakan spora sebagai alat perkembangbiakannya, dan (3) heterotrof. Sebagai tambahan, fungi membutuhkan tempat yang lembab dan hangat agar dapat tumbuh. Oleh karena itu, fungi banyak ditemukan di makanan yang lembab, di dasar kulit batang pohon, di dasar lantai hutan, serta di lantai kamar mandi yang lembab. Oleh karena bersifat heterotrof, secara ekologi fungi sangat penting karena berperan sebagai pengurai dan ikut andil dalam daur nutrisi yang ada di tanah (Subahari, 2008).
Sebagian besar tubuh fungsi terdiri atas benang-benang yang disebut hifa, yang saling berhubungan menjalin semacam jala yang disebut miselium. Miselium dapat dibedakan atas miselium vegetatif yang berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan dan miselium fertile yang berfungsi dalam reproduksi. Fungsi tingkat tingi maupun tingkat rendah mempunyai ciri khas yaitu berupa benang tunggal atau bercabang-cabang yang disebut hifa. Fungi dibedakan menjadi dua golongan yaitu kapang dan khamir (Syamsuri, 2004).
Semua fungi adalah eukariota, mereka memiliki sel membran yang menutupi inti dan mitokondria dan organel bermembran lainnnya. Meskipun mereka berbeda mencolok dalam ukuran dan bentuk, tetapi fungi memiliki karakter tertentu, termasuk car mereka mendapatkan makanan. Fungi yang paling sederhana adalah ragi, uniseluler, dengan bentuk bulat atau oval. Ragi tersebar luas di tanah, daun, buah, dan juga pada tubuh kita. Ragi berperan penting dalam kedokteran, penelitian biologi, dan industri makanan (Solomon, 2011).
Struktur tubuh fungi yang paling umum adalah filamen multiseluler dan sel tunggal (ragi). Banyak spesies yang dapat tumbuh baik sebagai filamen dan ragi, tetapi kebanyakan tumbuh sebagai filamen, hanya sedikit spesies yang tumbuh sebagai ragi. Ragi biasanya berada di tempat yang lembab, termasuk getah tumbuhan dan jaringan hewan, dimana terdapat nutrisi seperti gula dan asam amino (Campbell et al., 2009).
B.  Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi fungi mikroskopis.
II.  Metode
A.    Alat dan Bahan
Mikroskop, preparat semi permanent, buku referensi.
B.     Cara Kerja
1.    Dicatat hasil pengamatan terhadap warna dan pola pertumbuhan koloni fungi pada petridish.
2.    Dilakukan pengamatan terhadap hifa (sekat dan percabangan) dan spora atau konidia (bentuk dan ornamentasi) dan struktur morfologi lain misalnya rizhoid, stolon, sel kaki, dsb.
3.    Dilakukan dokumentasi dengan foto dan gambar.
4.    Dilakukan identifikasi dengan mencocokkan pada gambar atau buku.


III.   Hasil dan Pembahasan
A.    Hasil
Fusarium sp perbesaran 100x
Fusarium sp perbesaran 400x

B.     Pembahasan
Tahap selanjutnya setelah pewarnaan adalah identifikasi fungi yang telah diisolasi. Identifikasi ini dilakukan dengan mikroskop dan buku panduan identifikasi. Caranya adalah dengan mencocokkan preparat yang terlihat di bawah mikroskop dengan buku panduan. Hasil yang diperoleh adalah Fusarium sp. Fungi Fusarium sp. secara makroskopis memiliki koloni melingkar dan menyebar ke segala arah.
Genus Fusarium sp adalah patogen tular tanah yang termasuk Hyphomycetes (sub divisio Deuteromycotina). Fungi ini menghasilkan makrokonidia, mikrokonidia, dan klamidiospora (Akhsan, 1996). Sebagian besar dari genus ini merupakan fungi saprofit yang umumnya terdapat di dalam tanah, tetapi ada juga yang bersifat parasit. Fusarium sp yang menyebabkan penyakit pembuluh dikelompokkan ke dalam spesies F. oxysporum. Jenis ini dibagi lagi menjadi forma-forma spesialis (f.s.p) yang menyesuaikan diri pada tumbuhan inang tertentu yang diinfeksi sehingga 40 fungi F. oxysporum yang menyerang tanaman cabai disebut F. oxysporum f. sp. capsici (Semangun, 2001). Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Kristiana (2004), bahwa fungi penyebab layu fusarium ini termasuk dalam forma-ordo Moniliales forma-famili Tuberculariaceae.
Klasifikasinya sebagai berikut:
Kingdom : Mycetaceae
Divisi : Amastigomycota
Subdivisi : Deuteromycotina
Forma-kelas : Deuteromycetes
Forma-subkelas : Hypomycetidae
Forma-famili : Moniales
Forma-subfamili : Tuberculariaceae
Genus : Fusarium
Spesies : Fusarium sp.
Morfologi Fusarium sp Cendawan Fusarium sp mempunyai 3 alat reproduksi, yaitu mikrokonidia (terdiri dari 1-2 sel), makrokonidia (3-5 septa), dan klamidospora (pembengkakan pada hifa). Makrokonidia berbentuk melengkung, panjang dengan ujung yang mengecil dan mempunyai satu atau tiga buah sekat. Mikrokonidia merupakan konidia bersel 1 atau 2, dan paling banyak dihasilkan di setiap lingkungan bahkan pada saat patogen berada dalam pembuluh inangnya. Makrokonidia mempunyai bentuk yang khas, melengkung seperti bulan sabit, terdiri dari 3-5 septa, dan biasanya dihasilkan pada permukaan tanaman yang terserang lanjut. Klamidospora memiliki dinding tebal, dihasilkan pada ujung miselium yang sudah tua atau didalam makrokonidia, terdiri dari 1-2 septa dan merupakan fase atau spora bertahan pada lingkungan yang kurang baik.
Menurut Agrios (1997) dalam Susetyo (2010), miselium yang dihasilkan oleh cendawan patogen penyebab penyakit layu ini mulanya berwarna putih keruh, kemudian menjadi kuning pucat, merah muda pucat sampai keunguan. 41 Cendawan ini tumbuh dari spora dengan struktur yang menyerupai benang, ada yang mempunyai dinding pemisah dan ada yang tidak. Benang secara individu disebut hifa, dan massa benang yang luas disebut miselium. Miselium adalah struktur yang berpengaruh dalam absorbsi nutrisi secara terus-menerus sehingga cendawan dapat tumbuh dan pada akhirnya menghasilkan hifa yang khusus menghasilkan spora reproduktif (Foth, 1991). Miselium terutama terdapat di dalam sel khususnya di dalam pembuluh, juga membentuk miselium yang terdapat di antara sel-sel, yaitu di dalam kulit dan di jaringan parenkim di dekat terjadinya infeksi. Fusarium hidup sebagai parasit dan saprofit pada berbagai tanaman terutama pada bagian pembuluhnya, sehingga tanaman menjadi mati karena toksin (Sastrahidayat, 1989). Stadium terakhir merupakan stadium yang tahan pada segala cuaca. Cendawan menginfeksi akar terutama melalui luka, menetap dan berkembang di berkas pembuluh. Setelah jaringan pembuluh mati dan keadaan udara lembab, cendawan membentuk spora yang berwarna putih keunguan pada akar yang terinfeksi. Penyebaran spora dapat terjadi melalui angin, air pengairan dan alat pertanian.
Cendawan Fusarium sp dapat tumbuh dengan baik pada bermacammacam media agar yang mengandung ekstrak sayuran. Mula-mula miselium tidak berwarna, semakin tua warnanya semakin krem, akhirnya koloni tampak mempunyai benang. Pada miselium yang lebih tua terbentuk klamidospora yang berdinding tebal. Fungi membentuk banyak mikrokonidium bersel satu, tidak berwarna, lonjong atau bulat telur, 6-15 x 2,5-4 µm, makrokonidium lebih jarang, berbentuk kumparan, tidak berwarna, kebanyakan bersekat dua atau tiga, berukuran 25-33 x 3,5-5,5 µm.
IV.   Kesimpulan
Pada praktikum ini ditemukan Fusarium sp yang memang banyak ditemukan di alam dan memiliki kemampuan untuk menginfeksi berbagai macam tanaman.

Daftar Pustaka
Saragih, Saud Daniel. 2009. Jenis-jenis Fungi pada Beberapa Tingkat Kematangan Gambut. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra Utara. Sastrahidayat, I. R. 1986. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional. Surabaya
Semangun (1971) dalam Djajati, Mulyadi, Wahyudi. 1998. Pengaruh Pemberian Dolomit terhadap Serangan Cendawan Fusarium oxysporum pada Tanaman Pisang Varietas Ambon Kuning di Rumah Kaca. Prosiding Seminar Nasional. Seminar IV Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI) Komisariat Daerah Jateng dan DIY: 157. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM Press. Yogyakarta.
Solomon, E.P., L.R Berg., and D.W Martin. 2011. Biology Ninth Edition. Brooks/Cole Cengage Learning. USA.
Subahar, T.S.S. 2008. Biologi. Penerbit Quadra. Surabaya.
Sudjadi, Bagod., dan S. Laila. 2006. Biologi : Sains Dalam Kehidupan. Penerbit Yudhistira. Jakarta.
Syamsuri, Istamar. 2004. Biologi. Penerbit Erlangga. Jakarta.