Sunday, November 10, 2024

Struktur Tiga Dimensi DNA, Khususnya Terkait Bentuk B (B-form) dan Bentuk Z (Z-form)

Judul Jurnal: The Three-Dimensional Structure of DNA

Penulis: Steven B. Zimmerman
Tahun Terbit: 1982
Nama Jurnal: Annual Review of Biochemistry

Ringkasan

Jurnal "The Three-Dimensional Structure of DNA" karya Steven B. Zimmerman dari Annual Review of Biochemistry tahun 1982, memberikan tinjauan komprehensif mengenai perkembangan pengetahuan tentang struktur tiga dimensi DNA, khususnya terkait dua konformasi utamanya: bentuk B (B-form) dan bentuk Z (Z-form). Zimmerman membahas bagaimana penemuan-penemuan baru telah membuka pemahaman yang lebih mendalam tentang variasi struktur DNA, serta implikasinya terhadap fungsi biologis dan interaksi molekul. Ulasan ini juga mencakup konformasi lain dari DNA seperti bentuk A, C, dan D, serta bentuk hibrid DNA-RNA, yang membantu menguraikan kompleksitas dinamika struktural DNA.

Artikel ini diawali dengan penjelasan tentang pentingnya memahami struktur DNA, terutama dengan munculnya model Z-form yang lebih baru, yang berbeda secara radikal dengan model DNA bentuk B Watson-Crick yang sudah mapan. Bentuk B dan Z menjadi fokus utama karena perbedaan struktur dasar dan dampaknya pada fungsi biologis DNA. Bentuk B adalah struktur heliks ganda kanan yang lebih stabil dan sering ditemukan dalam kondisi fisiologis normal, sedangkan bentuk Z adalah heliks kiri yang langka dan biasanya terbentuk di bawah kondisi lingkungan tertentu, seperti konsentrasi garam tinggi atau keberadaan agen kimia tertentu. Kedua bentuk ini memiliki peran unik dalam konteks biologis, terutama dalam proses interaksi DNA-protein.

Zimmerman merinci bagaimana studi awal menggunakan teknik difraksi sinar-X membantu membangun model heliks ganda DNA, yang mengarah pada bentuk B DNA. Model ini didasarkan pada heliks ganda kanan dengan pasangan basa yang terhubung secara komplementer dan antiparalel. Model Watson-Crick untuk bentuk B menjadi dasar bagi pemahaman modern tentang replikasi DNA, transkripsi, dan penyimpanan informasi genetik. Menurut Zimmerman, meskipun bentuk B merupakan struktur yang stabil, variasi lingkungan dapat menginduksi perubahan bentuk, yang berdampak pada bagaimana DNA berinteraksi dengan protein dan molekul lainnya.

Zimmerman kemudian menjelaskan bentuk Z DNA yang lebih kompleks dan jarang, yang memiliki struktur heliks kiri dengan pola zig-zag pada tulang punggung gula-fosfatnya. Struktur ini pertama kali teridentifikasi melalui kristalografi sinar-X pada oligonukleotida, yang menunjukkan susunan molekul yang berbeda dari bentuk B. Penelitian ini menemukan bahwa bentuk Z cenderung muncul pada urutan basa tertentu, terutama dalam segmen purin dan pirimidin yang bergantian, seperti urutan guanin-sitosin. Menariknya, Z-form menunjukkan stabilitas yang unik dalam lingkungan ion tinggi atau dengan keberadaan zat kimia seperti alkohol, yang menunjukkan fleksibilitas DNA dalam merespon kondisi lingkungannya.

Studi Zimmerman juga membahas bentuk A DNA, yang merupakan varian lain dari heliks ganda kanan, namun lebih kompak dibandingkan bentuk B. Bentuk A biasanya ditemukan dalam kondisi dehidrasi atau dalam interaksi DNA-RNA, yang memiliki peran dalam mekanisme biologis tertentu, seperti transkripsi dan replikasi. Bentuk A, bersama dengan bentuk C dan D yang lebih jarang, menyoroti fleksibilitas konformasi DNA yang dapat berubah tergantung pada kondisi lingkungannya. Dalam artikelnya, Zimmerman menguraikan bagaimana perbedaan dalam bentuk heliks dan kemiringan pasangan basa dalam struktur ini berkontribusi pada keragaman fungsi DNA.

Zimmerman melanjutkan dengan diskusi tentang "heterogenitas struktural" DNA, yaitu variabilitas bentuk yang dapat terjadi dalam molekul DNA yang sama. Heterogenitas ini dapat bersifat statis (tetap) atau dinamis (berubah), yang berarti DNA tidak selalu memiliki struktur yang sepenuhnya homogen atau stabil, terutama dalam kondisi larutan. Heterogenitas dinamis ini memungkinkan DNA untuk berubah-ubah bentuk secara lokal, yang mungkin berperan dalam interaksinya dengan protein atau molekul lain dalam sel. Artikel ini juga membahas berbagai faktor yang memengaruhi stabilitas DNA, termasuk panjang heliks, susunan basa, dan pengaruh lingkungan, yang semuanya dapat berkontribusi pada perubahan bentuk DNA.

Salah satu poin penting yang diangkat dalam artikel ini adalah tentang peran struktur DNA dalam interaksi molekul. Bentuk heliks ganda DNA, terutama bentuk B, telah lama dianggap sebagai media penyimpanan informasi genetik yang stabil dan mudah diakses dalam proses replikasi dan transkripsi. Namun, bentuk-bentuk alternatif seperti bentuk Z membuka wawasan baru tentang bagaimana struktur DNA dapat mengatur aksesibilitas ke daerah tertentu dari urutan genetik, misalnya dengan memengaruhi cara DNA digulung atau dipadatkan dalam kromosom. Dengan memahami bentuk-bentuk DNA yang berbeda ini, ilmuwan bisa lebih memahami cara DNA terlibat dalam ekspresi gen, regulasi, dan interaksi molekul lainnya.

Zimmerman juga mencatat bahwa meskipun bentuk Z DNA memiliki stabilitas yang lebih rendah dibandingkan bentuk B, keberadaan Z-form di beberapa bagian DNA alami menunjukkan bahwa bentuk ini mungkin memiliki fungsi biologis tertentu, misalnya dalam proses regulasi genetik. Beberapa penelitian yang ia tinjau menunjukkan bahwa bentuk Z mungkin berperan dalam membuka atau mengisolasi bagian-bagian tertentu dari DNA, sehingga membantu mengatur aktivitas gen atau menanggapi perubahan lingkungan sel. Penemuan-penemuan ini memicu ketertarikan lebih lanjut terhadap peran bentuk Z DNA dalam biologi molekuler.

Selain membahas struktur DNA itu sendiri, Zimmerman juga menyentuh tentang interaksi DNA dengan protein dan zat kimia lain, yang dapat memengaruhi stabilitas dan konformasi heliks. Misalnya, beberapa zat kimia dapat mempromosikan pembentukan bentuk Z dengan menstabilkan interaksi antar basa tertentu. Artikel ini menggambarkan bahwa perubahan struktur tidak hanya terjadi secara alami, tetapi juga dapat dipicu oleh faktor eksternal seperti zat kimia atau kondisi ionik tertentu, yang menyoroti dinamika molekul DNA dalam sel.

Di bagian penutup, Zimmerman menyimpulkan bahwa studi tentang struktur tiga dimensi DNA sangat penting untuk memahami bagaimana DNA menjalankan fungsinya dalam skala molekuler. Variasi bentuk dan fleksibilitas konformasi DNA memungkinkan interaksi yang kompleks dengan protein, molekul kecil, dan faktor lingkungan lainnya. Zimmerman menggarisbawahi pentingnya penelitian lanjutan untuk mengeksplorasi dampak bentuk-bentuk DNA ini dalam biologi dan genetika, yang dapat memberikan wawasan lebih lanjut tentang mekanisme pengendalian ekspresi gen dan proses molekuler dalam sel.

Secara keseluruhan, artikel ini memberikan pandangan mendalam tentang keragaman struktural DNA dan menggarisbawahi pentingnya faktor lingkungan dalam menentukan konformasi DNA. Zimmerman menyimpulkan bahwa pemahaman yang lebih baik tentang variasi bentuk DNA dapat membawa manfaat besar dalam studi biologi molekuler, terutama dalam penelitian tentang ekspresi gen, interaksi DNA-protein, dan mekanisme pengendalian genetik. Artikel ini menekankan bahwa DNA bukanlah molekul statis, tetapi memiliki fleksibilitas yang signifikan, yang memungkinkan berbagai interaksi dan fungsi biologis yang berbeda, tergantung pada bentuk dan konformasinya.

Saturday, November 9, 2024

Sejarah Nutrisi: Malnutrisi, Infeksi, dan Imunitas

  • Judul Jurnal: The History of Nutrition: Malnutrition, Infection, and Immunity
  • Penulis: Gerald T. Keusch
  • Tahun Terbit: 2003
  • Penerbit: The Journal of Nutrition, American Society for Nutritional Sciences

Rangkuman

Artikel ini membahas hubungan antara gizi, malnutrisi, dan imunitas dalam konteks sejarah, terutama bagaimana pemahaman tentang interaksi nutrisi dengan sistem imun berkembang sejak abad ke-20. Hubungan antara status gizi dan sistem imun telah lama menjadi perhatian, terutama karena keterkaitan antara malnutrisi dan peningkatan risiko infeksi. Artikel ini menguraikan bagaimana pemahaman ini berkembang melalui enam tahap sejarah, dengan dampak besar dari peran ahli gizi, khususnya Nevin Scrimshaw.

  1. Tahap Awal (Pra-1959)
    Pada periode ini, pemahaman tentang hubungan antara gizi dan imunitas masih minim. Beberapa peneliti, seperti Nevin Scrimshaw, mulai melakukan studi epidemiologi untuk melihat keterkaitan antara penyakit infeksi dan malnutrisi. Namun, pengetahuan tentang sistem imun saat itu masih terbatas, dengan fokus utama pada antibodi tanpa pemahaman yang memadai tentang sel-sel imun lainnya.

  2. Masa Pencerahan (1959–1968)
    Periode ini ditandai dengan publikasi penting oleh Scrimshaw dan rekannya, yang mengemukakan siklus antara malnutrisi dan infeksi. Mereka menunjukkan bahwa malnutrisi meningkatkan risiko infeksi dan sebaliknya, infeksi memperburuk kondisi malnutrisi. Hal ini membuat infeksi dan kekurangan gizi menjadi suatu siklus yang merusak, yang dapat menyebabkan kematian jika tidak diintervensi.

  3. Reformasi Sistem Imunitas (1970–1980)
    Pada dekade ini, semakin banyak alat dan metode yang digunakan untuk mempelajari sistem imun manusia. Penelitian mulai mengidentifikasi bahwa malnutrisi memengaruhi respons imun tubuh, termasuk produksi antibodi dan respons imun seluler. Penelitian menunjukkan bahwa kekurangan protein energi dan zat gizi mikro penting, seperti vitamin dan mineral, berdampak negatif pada fungsi imun.

  4. Periode Rekonstruksi (1980–1990)
    Pada dekade ini, ilmuwan berhasil mengidentifikasi lebih banyak jenis sitokin, molekul penting dalam pengaturan respons imun. Penemuan sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF) membantu menjelaskan bagaimana tubuh merespons infeksi dan mengapa malnutrisi memperlemah daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ini juga memperkuat pemahaman bahwa respons imun dan metabolisme saling terkait erat.

  5. Era Modern (1990–2000)
    Di periode ini, kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, dan seng semakin diakui sebagai faktor yang berpengaruh besar dalam respons tubuh terhadap infeksi. Studi besar tentang suplemen vitamin A menunjukkan penurunan signifikan dalam angka kematian anak di berbagai negara. Temuan ini memperkuat pentingnya zat gizi mikro dalam mendukung daya tahan tubuh terhadap infeksi.

  6. Era Milenium (2000 dan Seterusnya)
    Pada era ini, penelitian tentang nutrisi dan imunitas menjadi semakin canggih dengan munculnya teknologi seperti microarray dan pengembangan genom manusia. Teknologi ini memungkinkan analisis mendalam tentang pengaruh nutrisi pada ekspresi gen dan regulasi sistem imun. Para ilmuwan berharap, dengan penemuan-penemuan ini, mereka dapat mengembangkan strategi nutrisi yang lebih spesifik untuk mendukung imunitas dan mencegah penyakit.

Artikel ini menggarisbawahi bahwa penelitian di bidang nutrisi dan imunologi terus berkembang, dengan potensi besar untuk menemukan cara-cara baru dalam mencegah penyakit melalui perbaikan gizi. Para peneliti melihat pentingnya kolaborasi antara ahli gizi dan imunologi dalam memahami lebih dalam mekanisme hubungan antara nutrisi, infeksi, dan kekebalan tubuh.

Friday, November 8, 2024

Sistem Pencernaan Cacing Tanah dan Perannya dalam Ekosistem

Cacing tanah (Lumbricus terrestris) merupakan hewan invertebrata yang sangat penting dalam menjaga kesuburan tanah. Salah satu keistimewaan cacing tanah terletak pada sistem pencernaannya, yang meski sederhana, namun sangat efisien dalam mencerna bahan organik. Sistem pencernaan cacing tanah memungkinkan hewan ini menguraikan bahan organik yang ditemukan di tanah dan mengubahnya menjadi nutrisi yang berguna bagi lingkungan. Berikut adalah tahapan sistem pencernaan cacing tanah dan peran pentingnya dalam ekosistem.


1. Mulut (Mouth)

  • Sistem pencernaan cacing tanah dimulai dari mulut yang terletak di ujung tubuh. Mulut ini digunakan untuk mengambil makanan berupa tanah dan materi organik. Melalui mulut, cacing tanah mengonsumsi partikel tanah, mikroorganisme, dan bahan organik seperti sisa tumbuhan yang terurai.
  • Setelah makanan masuk ke mulut, cacing akan menggerakkannya ke faring melalui kontraksi otot. Ini adalah langkah awal sistem pencernaan cacing tanah yang sederhana namun efektif.

2. Faring (Pharynx)

  • Dari mulut, makanan yang sudah masuk dibawa ke faring. Faring berfungsi sebagai pompa yang membantu cacing tanah menelan makanan dengan gerakan kontraksi.
  • Di faring, lendir disekresikan untuk mempermudah gerakan makanan. Faring juga menciptakan tekanan yang mendorong makanan untuk bergerak lebih jauh ke dalam sistem pencernaan cacing tanah.

3. Esofagus (Esophagus)

  • Makanan dari faring selanjutnya masuk ke esofagus, yaitu saluran yang menghubungkan faring dengan tembolok (crop). Di sini, gerakan peristaltik mendorong makanan ke tembolok.
  • Di bagian ini, sistem pencernaan cacing tanah menyerap mineral seperti kalsium untuk menetralkan pH makanan sebelum mencapai organ berikutnya.

4. Tembolok (Crop)

  • Tembolok merupakan tempat penyimpanan sementara di dalam sistem pencernaan cacing tanah. Di sini, makanan akan disimpan dan dilunakkan sebelum dipecah lebih lanjut.
  • Tembolok memungkinkan cacing tanah untuk menyimpan sejumlah besar makanan sekaligus, sehingga dapat mencerna bahan organik dengan lebih efisien.

5. Ampela (Gizzard)

  • Dari tembolok, makanan akan bergerak ke ampela atau gizzard, organ pencernaan yang berperan penting dalam sistem pencernaan cacing tanah. Di ampela, makanan dihancurkan menjadi partikel yang lebih kecil.
  • Dalam ampela, cacing tanah menelan partikel pasir dan kerikil kecil yang berfungsi untuk menggiling makanan, karena cacing tanah tidak memiliki gigi. Proses ini membantu menghancurkan makanan menjadi bentuk yang lebih halus, sehingga nutrisi dapat diserap lebih mudah di usus.

6. Usus (Intestine)

  • Setelah makanan dihancurkan di ampela, makanan kemudian memasuki usus. Di sini, proses pencernaan dan penyerapan nutrisi utama berlangsung. Usus cacing tanah merupakan bagian terpanjang dalam sistem pencernaan cacing tanah, dan memiliki banyak pembuluh darah yang membantu menyerap nutrisi.
  • Di usus, makanan dipecah oleh enzim-enzim pencernaan. Nutrisi yang dihasilkan kemudian diserap ke dalam pembuluh darah, yang akan mengalirkannya ke seluruh tubuh cacing. Salah satu keunikan usus cacing tanah adalah adanya typhlosole, yaitu lipatan di dalam usus yang memperbesar permukaan usus untuk meningkatkan efisiensi penyerapan.

7. Anus

  • Proses terakhir dalam sistem pencernaan cacing tanah adalah pengeluaran sisa-sisa makanan yang tidak tercerna melalui anus dalam bentuk kotoran yang disebut casting atau "pupur cacing". Casting ini kaya akan nutrisi organik dan mineral yang bermanfaat untuk tanah.
  • Dengan mengeluarkan casting, sistem pencernaan cacing tanah memberikan manfaat besar bagi lingkungan. Pencernaan ini membantu proses dekomposisi bahan organik dan meningkatkan kualitas tanah, sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman.

Peran Sistem Pencernaan Cacing Tanah dalam Ekosistem

Sistem pencernaan cacing tanah tidak hanya membantu cacing tanah bertahan hidup, tetapi juga memberikan manfaat ekologis yang signifikan. Dengan mengonsumsi bahan organik dalam tanah, cacing tanah membantu meningkatkan kesuburan tanah dan memperbaiki strukturnya. Pencernaan cacing tanah memungkinkan penguraian bahan organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi, dan membantu aerasi tanah, sehingga memungkinkan akar tanaman tumbuh lebih baik.

Keseluruhan sistem pencernaan cacing tanah menunjukkan adaptasi yang sempurna untuk mendukung kehidupan di bawah tanah. Proses pencernaan cacing tanah yang efisien ini tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga memperkaya ekosistem di sekitarnya. Inilah yang menjadikan cacing tanah sebagai salah satu hewan terpenting dalam menjaga kesehatan tanah.

Friday, June 28, 2024

Komponen Penyusun Saluran Pencernaan Manusia dan Mekanisme Kerjanya

 Saluran pencernaan manusia adalah suatu sistem organ yang kompleks yang berfungsi untuk mencerna makanan, menyerap nutrisi, dan membuang sisa-sisa makanan yang tidak terpakai. Sekelompok  organ yang bekerja sama untuk mencerna makanan, menyerap nutrisi, dan membuang sisa makanan yang tidak terpakai. Sistem ini bagaikan pabrik pengolahan makanan yang kompleks, di mana makanan diubah menjadi zat-zat yang dapat digunakan oleh tubuh untuk berbagai fungsi, seperti energi, pertumbuhan, dan perbaikan jaringan.



Saluran pencernaan ini terdiri dari beberapa organ utama yang tersusun secara berurutan, yaitu:

Mulut

Mulut merupakan pintu masuk pertama makanan ke dalam tubuh. Di sini, makanan dikunyah dan dicampur dengan air liur yang mengandung enzim pencernaan awal. Enzim ini membantu memecah karbohidrat menjadi gula sederhana.

Berikut adalah mekanisme kerja mulut dalam mencerna makanan:

1. Pengunyahan

Gigi: Makanan dipotong dan dihancurkan menjadi potongan-potongan kecil oleh gigi. Gigi terdiri dari berbagai jenis dengan fungsi yang berbeda-beda. Gigi seri untuk menggigit, gigi taring untuk merobek, dan gigi geraham untuk mengunyah dan menggiling makanan.

Otot rahang: Otot rahang menggerakkan rahang atas dan bawah, memungkinkan gigi untuk mengunyah makanan dengan gerakan mengunyah yang kompleks.

2. Pencampuran dengan Air Liur

Kelenjar ludah: Kelenjar ludah di dalam mulut menghasilkan air liur yang mengandung enzim pencernaan dan pelumas. Enzim pencernaan awal dalam air liur, yaitu amilase, membantu memecah karbohidrat menjadi gula sederhana (maltosa). Pelumas dalam air liur membantu makanan menjadi lebih mudah ditelan dan meluncur melalui kerongkongan.

Pencampuran: Air liur dicampurkan dengan makanan melalui gerakan lidah dan pipi, memastikan bahwa setiap bagian makanan terpapar enzim dan pelumas.

Kerongkongan

Kerongkongan adalah tabung berotot yang menghubungkan mulut dengan lambung. Makanan yang telah dikunyah dan dicampur air liur didorong melalui kerongkongan dengan gerakan peristaltik.

1.Gerakan Peristaltik

Dinding kerongkongan tersusun atas otot polos yang memiliki kemampuan berkontraksi dan berelaksasi. Kontraksi dan relaksasi otot ini secara bergelombang inilah yang disebut dengan gerakan peristaltik.

Gerakan peristaltik pada kerongkongan dimulai dari atas (dekat mulut) dan menjalar ke bawah (menuju lambung). Kontraksi otot di bagian atas mendorong makanan ke bawah, dan relaksasi otot di bagian bawah memungkinkan makanan untuk masuk ke lambung.

2. Saraf Vagus

Gerakan peristaltik kerongkongan dikendalikan oleh saraf vagus, yang merupakan saraf kranial X. Saraf vagus mengirimkan sinyal dari otak ke otot-otot kerongkongan, memicu kontraksi dan relaksasi yang diperlukan untuk mendorong makanan.

3. Tekanan Intraluminal

Tekanan di dalam kerongkongan (tekanan intraluminal) juga berperan dalam mendorong makanan. Ketika makanan ditelan, tekanan di dalam kerongkongan meningkat, memicu reseptor sensorik di dinding kerongkongan. Sinyal dari reseptor ini dikirim ke saraf vagus, yang kemudian memicu gerakan peristaltik.

Lambung

Lambung adalah organ berotot berbentuk kantong yang berfungsi untuk menampung dan mencerna makanan lebih lanjut. Di dalam lambung, makanan dicampur dengan asam lambung dan enzim pencernaan lainnya, seperti pepsin. Asam lambung membantu membunuh mikroorganisme dan memecah protein, sedangkan enzim pepsin membantu memecah protein menjadi peptida yang lebih kecil.

Usus Halus

Usus halus adalah organ pencernaan terpanjang, dengan panjang sekitar 6 meter. Di sini, sebagian besar nutrisi dari makanan diserap ke dalam aliran darah. Usus halus terdiri dari tiga bagian, yaitu:

  • Duodenum: Bagian pertama usus halus, di mana empedu dari kantung empedu dan enzim pencernaan dari pankreas dicampurkan dengan makanan. Empedu membantu mencerna lemak, sedangkan enzim pencernaan dari pankreas membantu memecah karbohidrat, protein, dan lemak menjadi molekul yang lebih kecil yang dapat diserap.
  • Jejunum: Bagian kedua usus halus, di mana sebagian besar penyerapan nutrisi terjadi. Dinding jejunum memiliki banyak tonjolan kecil yang disebut vili, yang meningkatkan luas permukaan untuk penyerapan.
  • Ileum: Bagian terakhir usus halus, di mana air dan mineral yang tersisa diserap.

Usus Besar

Usus besar adalah organ berotot yang berfungsi untuk menyerap air dan elektrolit dari sisa makanan dan membentuk feses. Usus besar terdiri dari tiga bagian, yaitu:

  • Sekum: Kantung kecil yang terletak di ujung kanan bawah usus besar. Di sini, sisa makanan yang tidak tercerna dicampur dengan bakteri usus.
  • Kolon: Bagian terpanjang dari usus besar, di mana air dan elektrolit diserap dari sisa makanan.
  • Rektum: Bagian terakhir usus besar yang menampung feses sebelum dikeluarkan dari tubuh melalui anus.

Anus

Anus adalah lubang di ujung bawah saluran pencernaan yang berfungsi untuk mengeluarkan feses dari tubuh. Anus dikendalikan oleh otot sfingter yang dapat dibuka dan ditutup.

Organ Pendukung Pencernaan

Selain organ-organ utama yang disebutkan di atas, ada beberapa organ lain yang mendukung fungsi pencernaan, yaitu:

  • Hati: Menghasilkan empedu yang membantu mencerna lemak.
  • Pankreas: Menghasilkan enzim pencernaan yang membantu memecah karbohidrat, protein, dan lemak.
  • Kantung empedu: Menyimpan empedu yang dihasilkan oleh hati.

Wednesday, May 9, 2018

ANTAGONISME ION


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Nutrisi disimpan diperoleh oleh tanaman baik dari udara maupun dari tanah. Nutrisi yang didapat diserap dalam bentuk ion oleh tanaman. Dalam penyerapannya. Ion-ion dari larutan tanah harus memiliki konsentrasi yang lebih tinggi supaya dapat masuk ke dalam sel. Untuk mengatasi permasalahan tersebut ion-ion di dalam tanah membutuhkan suatu energi. Energi ion-ion tanah ini diperoleh dari proses respirasi akar.
Respirasi akar sendiri terjadi apabila terdapat udara di dalam tanah. Karena itulah dibutuhkan ventilasi (pengudaraan) yang baik supaya dihasilkan energi maksimal untuk proses penyerapan ion-ion ke dalam sel akar.
Pemasukan ion-ion dari tanah ke dalam akar dipengaruhi oleh suatu hal yang disebut antagonisme ion. Artinya adalah pemasukan suatu ion akan mempengaruhi bahkan terkadang menentang pemasukan ion-ion lain ke dalam sel. Misalnya konsentrasi ion Na+ yang lebih tinggi daripada ion K+ atau Ca2+ akan menghambat peresapan kedua ion tersebut (K+ dan Ca2+). Berdasarkan uraian di atas, dilakukan suatu percobaan untuk mengetahui sifat antagonisme antara ion K+ dan Mg2+ dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman.
  1. Permasalahan
Permasalahan dalam praktikum ini adalag bagaimana sifat antagonisme antara ion K+ dan Mg2+ dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman?

  1. Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui sifat antagonisme antara ion K+ dan Mg2+ dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan tanaman merupakan proses yang penting dalam perkembangan tanaman. Pertumbuhan tanaman tidak lepas dari nutrisi yang harus dipenuhi oleh tanaman. Nutrisi yang diperlukan ini terbagi menjadi 2 yaitu makrunutrien dan mikronutrien.
Makronutrien berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Makronutrien terdiri dari nitrogen (N), phosphor (P), potassium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), sulfur (S), carbon (C), oksigen (O) dan hydrogen (H). makronutrien ini berperan dalam berbagai proses pertumbuhan seperti berperan sebagai kofaktor, sebagai unit structural redoks dalam sel (Tripathi et al., 2014). Sedangkan unsur hara mikro terdiri dari  boron (B), klorin (Cl), tembaga (Cu), besi (Fe), molybdenum (Mo), mangan (Mn), nikel (Ni), natrium (Na), and seng (Zn). Mikronutrien berperan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Kalium merupakan elemen esensial bagi tanaman untuk pertumbuhan. Kalium dalam tanah bersifat dinamis. Kalium atau potassium merupakan senyawa kedua terpenting setelah nitrogen. Potassium bersifat sangat mobile di dalam tanaman, namun tidak terlalu mobile ketika berada dalam tanah. Seperti ion atau senyawa lain seperti Cl, S, Li potassium disebut sebagai non konstitutive element yang berarti tidak membentuk komponen/ senyawa dalam system tanaman. Dibuktikan dengan fungsi senyawa ini dalam pertumbuhan tanaman.
Potassium berfungsi sebagai conveyer listrik dalam sel tanaman, juga bertindak sebagai katalisis untuk proses enzimatik dalam tanaman yang penting dalam proses pertumbuhan. Potassium merupakan nutrient kunci tanaman dalam menanggapi toleransi stress seperti suhu rendah, kekeringan, serangan pathogen dan hama. Juga berperan penting dalam osmoregulator air dalam sel. Osmo regulasi yang berperan penting dalam tekanan sel turgor yang berefek tetrhadap elongasi pertumbuhan dan berperan dalam membuka dan menutup stomata yang berpengaruh terhadap transpirasi dan fotosintesis (Ranade-Malvi, 2011).
Interaksi antar ion dikatakan sinergis apabila terjadi interaksi antara dua ion atau lebih yang memiliki efek yang sama dalam sistem. Sebaliknya, interaksi antar ion dikatakan antagonis apabila efek dari satu ion mengurangi atau meniadakan pengaruh ion lain. Dalam antagonistik ini, diketahui bahwa semakin besar valensinya semakin kecil kekuatan antagonismenya, dalam arti ion dengan valensi lebih besar, akan kalah bersaing dengan yang bervalensi lebih kecil. Ion yang bervalensi satu akan lebih mudah diserap daripada bervalensi dua atau lebih. (Santosa, 1992).
Unsur kalium berhubungan erat dengan kalsium dan magnesium. Ada sifat antagonisme antara kalium dan kalsium. Dan juga antara kalium dan magnesium. Sifat antagonisme ini menyebabkan kekalahan salah satu unsur untuk diserap tanaman jika komposisinya tidak seimbang. Unsur kalium diserap lebih cepat oleh tanaman dibandingkan kalsium dan magnesium. Jika unsur kalium berlebih gejalanya sama dengan kekurangan magnesium. Sebab sifat antagonisme antara kalium dan magnesium lebih besar daripada sifat antagonisme antara kalium dan kalsium. Antagonism antar senyawa disajikan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Element antagonis (Rietra et al., 2015)








(
Magnesium adalah aktivator yang berperan dalam transportasi energi beberapa enzim di dalam tanaman. Unsur ini sangat dominan keberadaannya di daun , terutama untuk ketersediaan klorofil. Jadi kecukupan magnesium sangat diperlukan untuk memperlancar proses fotosintesis. Unsur itu juga merupakan komponen inti pembentukan klorofil dan enzim di berbagai proses sintesis protein. Kekurangan magnesium menyebabkan sejumlah unsur tidak terangkut karena energi yang tersedia sedikit (Uchida R, 2000).



BAB III
METODE
A.    Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini meliputi petridish dan gelas ukur. Sedangkan bahan yang diperlukan meliputi Pistia sp., larutan 1 % KCl, 1% MgCl2, dan aquadest.
B.     Prosedur Kerja
Pertama menyiapkan petridish, kemudian larutan 1 % KCl dimasukkan ke dalam petridish sebanyak 40 ml, kemudian 40 ml 1% MgCl2 dimasukkan kedalam petridish yang lain, kemudian disiapkan larutan aquadest pada petridish yang lain pula dengan 40 ml, kemudian pistia dimasukkan dengan ukuran yang sama besar kedalam petridish, dan diamati setelah beberapa hari.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam percobaan kali ini bertujuan untuk melihat antagonisme antara senyawa satu dengan yang lain. Hasil yang didapatkan dalam percobaan ini ditampilkan dalam tabel 2.2

No
Air Suling
1% KCL
1% MgCL2
Jumlah daun
Warna
1
40
-
-
8 + 2 cabang daun
hijau
2
40
rusak
-
3
40
5 daun
kuning dan berjamur
4
20
20
6 daun rusak seperti terdegradasi
berjamur
5
20
20
6 daun rusak seperti terdegradasi
3 daun berjamur (busuk); 2 daun kuning berjamur
6
10
20
5
berjamur namun masih kehijauan
Tabel 2.2. Hasil pengamatan pistia sp dalam beberapa konsentrasi larutan 1% KCl, 1% MgCl2

Dari hasil pengamatan diatas diketahui terdapat beberapa perbandingan konsentrasi larutan yang digunakan, yaitu perbandingan 1% KCL:1% MgCL2 dengan perbandingan 20:20, 10:10, dan 40 ml 1% KCl saja, dan 40 ml MgCL2. Dari hasil didapatkan tanaman pistia pada larutan airsuling/aquaest daun muda tumbuh dengan 2 cabang daun dengan warna hijau, sedangkan pada 40 ml KCl daun tanaman mengalami kerusakan, pada 40 ml MgCl2 daun sebanyak 5 dengan sudah mengalami klorosis dan berjamur, pada larutan dengan konsentrasi 20:20 daun mengalami kerusakan dengan kondisi berjamur dan seperti busuk, sedangkan pada perbandingan 10:20 jumlah daun sebanyak 5-6 daun dengan kondisi daun berjamur namun masih kehijauan. Daun Pistia sp. yang digunakan awal dalah berjumlah 5 dengan warna daun hijau.
Tumbuhan Pistia sp. pada larutan aquadest mengalami pertumbuhan yang baik dengan tumbuhnya daun baru, serta daun yang masih segar berwarna hijau, hal ini disebabkan tidak adanya stress osmotic yang dialami oleh tumbuhan, tidak adanya kelebihan ion yang dapat merusak dan menghambat pertumbuhan sel tanaman. Sedangkan pada 40 ml KCl daun mengalami kerusakan hal ini disebabkan volume yang diberikan menjadi sebuah stress untuk tanaman. Terjadinya toksisitas unsur hara K+ pada tanaman yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman karena terhambatnya penyerapan unsur hara yang lain oleh akar tanaman. Salah satu unsur yang dapat terhambat penyerapannya adalah unsur hara nitrogen, kalsium dan magnesium. Nitrogen bagi tanaman dibutuhkan untuk pembentukan protein yang penting dalam proses metabolisme tumbuhan, sehingga tanaman yang kekurangan unsur hara nitrogen ini akan mengalami klorosis dan penghambatan pembentukan klorofil yang menyebabkan berkurangnya fotosintesis pada tanaman, dan akhirnya mengalami kematian.
Sedangkan pada 40 ml MgCl2 tanaman tidak mengalami pertambahan daun dan daun mengalami kekuningan dan berjamur hal ini disebabkan karenanya berlebihannya volume MgCl2 dalam medium tumbuh tanaman yang menyebabkan terhambatnya penyerapan unsur hara kalsium dan kalium oleh akar tanaman. Terhambatnya penyerapan kedua unsur ini akan mempengaruhi perkembangan tanaman karena unsur hara kalium berperan penting dalam mengatur tekanan osmotic dalam sel yang mempengaruhi transpirasi air, penyerapan air dan membuka menutupnya stomata yang berkaitan dengan fotosintesis. Juga kalium berfungsi sebagai katalisis proses enzimatik dalam tanaman yang penting dalam proses pertumbuhan.
Pada perbandingan volume KCl: MgCl2 20:20 daun tanaman mengalami degradasi dan berjamur hal ini diakibatkan karena terjadinya ntagonism ion yang mengakibatkan terhambatnya proses penyerapan ion yang lain. Yang berakibat pada pertumbuhan yang terhambat, dan menyebabkan daun terdegradasi hingga berjamur. Pada perbandingan volume 10:30 tanaman juga mengalami daun yang berjamur namun masih menampakkan warna hijau. Hal ini dikarenakan volume KCl yang digunakan masih tergolong rendah sehingga tidak sepenuhnya menghambat penyerapan ion Mg yang berperan dalam pembentukan klorofil yang bertugas untuk fotosintesis dan memberikan warna hijau pada daun, namun volume MgCl2 yang tinggi menyebabkan terhambatnya penyerapan ion kalium dan kalsium yang berperan dalam pengaturan osmoregulator yang berperan dalam mengatur membuka dan menutup stomata yang berhubungan dengan keluar masuknya carbondioxida yang berperan dalam fotosintesis. Sehingga semakin tidak seimbangnya perbandingan volume larutan yang digunakan akan membuat semakin tidak seimbangnya penyerapan yang dilakukan oleh akar. Tingginya konsentrasi suatu unsur dalam suatu larutan akan menghambat penyerapan unsur yang lain.
BAB V
KESIMPULAN
ion K+ dan Mg+ saling antagonism antara satu dan yang lain. Ketika konsentrasi ion K+ maka akan menghambat penyerapan unsur hara Mg+ oleh akar sehingga akan membuat tanaman kekurangan ion Mg+ dan berakibat pada klorosis daun dan menghambat pembentukan klorofil daun hingga dan mengganggu proses fotosintesis pada tanaman.










DAFTAR PUSTAKA
Ranade-Malvi, Ujwala. 2011. Interaction Of Micronutrients With Major Nutrients With Special Reference To Potassium. Karnataka J. Agric. Sci.,24 (1) : Pages: 106-109.
Rietra, R.P.J.J., M. Heinen., C. Dimkp., P.S. Bindraban. 2015. Effects Of Nutrient Antagonism And Synergism On Fertilizer Use Efficiency. VFRC Report. Virtual Fertilizer Research Center, Washington, D.C.
Santosa. 1993. Fisiologi Tumbuhan. Fakultas Biologi. Yogyakarta: UGM
Tripathi, D.K., Vijay P.S., Devendra, K.C., Sheo, M.P., Nawal, K.D. 2014. Role Of Macronutrients In Plant Growth And Acclimation: Recent Advances And Future Prospective. India:  University Of Allahabad.