Thursday, April 20, 2017

Evolusi Tumbuhan

            Studi tentang tumbuhan, telah semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi, mulai dari penampakan mikroskop elektron meristem apikal hingga mempelajari evolusi di tingkat molekuler. Kemajuan ini mendorong penelitian bukan hanya mengenai fase perpindahan tanaman air ke darat tapi juga mengenai bagaimana organ tumbuhan terbentuk. Informasi mengenai genetika dan ontogeni awal sebagian besar telah diteliti oleh paleobotanists dan semakin berkembang. Adanya perkembangan di bidang genetika sangat membantu pemahaman bagaimana proses terjadinya evolusi.
Asal muasal tumbuhan darat adalah peristiwa evolusi besar dalam sejarah bumi, secara dramatis mengubah siklus geokimia dan lintasan evolusi taksa lainnya, seperti metazoans. Sebelum kolonisasi oleh Embryophytes (tumbuhan darat), lingkungan terestrial itu rentan terhadap erosi didominasi oleh cyanobacterial dan mungkin jamur dan lumut. Munculnya Embryophytes diduga pada masa pertengahan Ordovican mendorong pembentukan tanah yang semakin menunjang kehidupan tumbuhan darat. Pada saat ini sebagian besar organ dan jaringan tanaman yang masih ada (pembuluh darah, akar, daun, biji, kayu, pertumbuhan sekunder) telah berevolusi. Evolusi akar telah dikaitkan dengan peningkatan pelapukan batuan Ca-Mg yang mengarah ke penurunanCO2 di atmosfer. Evolusi kayu dan pertumbuhan sekunder mengakibatkan ekosistem dengan kanopi berlapis termasuk pohon-pohon besar dan ekosistem yang kompleks. Dengan demikian, evolusi dari tanaman darat memiliki dampak yang besar pada lingkungan global.
Awal mula tumbuhan darat dikarenakan adanya tumbuhan air yang disebut alga hijau. Bukti adanya tumbuhan tertua ini dilihat adanya tumbuhan yang berusia 450 tahun menyerupai tumbuhan lumut saat ini. Selama beberapa tahung berkembangnya tumbuhan ini dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu yang pertama tumbuhan lumut dan tumbuhan berpembuluh atau paku. Tumbuhan ini telah memiliki jaringan xylem dan floem yang membentuk akar tumbuhan tegak. Tumbuhan paku ini juga menjadi awal dari tumbuhan yang menghasilkan biji, sekarang sudah 90% dari seluruh jenis tumbuhan yang ad merupakan tumbuhan berbiji. Kelompok tumbuhan biji meliputi gymnosepermae atau tumbuhan berbiji terbuka adalah kelompok tumbuhan dimana bijinya tidak dilindungi oleh daun buah, sehingga biji kelihatan langsung seperti kita lihat pada biji tumbuhan hias pakis haji. Sehingga berkembang lagi satu kelompok tumbuhan berbiji tertutup (angiospermae) atau biasa disebut anthophyta (tumbuhan berbunga) dan spermatophyta (tumbuhan berbiji). Tumbuhan berbiji merupakan tingkatan tertinggi karena sudah memilki akar, batang dan daun sejati untuk menunjang hidup di daratan. Serta bunga sebagai alat kelamin yang berwarna-warni. Evolusi tumbuhan berbiji dimulai pada tahun 125 juta tahun silam dengan ditandai dengan tumbuhan berbunga



A.  Asal Tumbuhan Darat adalah Alga
Analisis filogenetik menunjukkan Coleochaetales lebih jauh kekerabatannya dari tanaman darat daripada Charales. Mereka diakui sebagai keturunan terakhir sebelum munculnya tanaman darat. Tahap awal perkembangan Charales melibatkan formasi filamen protonemal yang ditemukan di beberapa lumut dan tanaman darat lainnya. Munculnya tanaman darat dari air  berasal dari bukti fosil, selama pertengahan Ordovician dan awal Silurian (480-430.000.000 tahun yang lalu). Bersama dengan diversifikasi tanaman, ekosistem lingkungan darat berubah sampai dengan saat ini.
Jalur metabolik penting yang mengarah ke lignin, flavonoid, cutins dan hormon tanaman di tanaman terestrial mungkin timbul dari ganggang Charophycean. Misalnya, plasenta Coleochaetes berisi materi yang mirip dengan lignin, zat umumnya tidak ada pada ganggang hijau, dan dinding zigot
meliputi sporopollenin. Kehadiran
lignin dalam alga diduga menyebabkan resisten terhadap serangan mikroba, mendahului perannya sebagai komponen dinding sel struktural. Ide monophyly tanaman tanah didukung oleh analisis data morfologi yang berasal dari fosil.

Gambar 1. Perkembangan utama dan komposisi lignin dalam evolusi tanaman darat. Empat peristiwa besar yang diwakili dengan panah hitam. Garis berwarna menekankan pengembangan tracheids (hijau) dan pengembangan pembuluh (biru). H, G dan S untuk hidroksifenil, guaiacyl dan lignin syringyl

B.     Perkembangan Tumbuhan Darat
Klasifikasi tumbuhan darat dibagi menjadi beberapa kelompok, terutama berdasarkan anatominya. Evolusi jenis spora baru, adanya akar, batang, daun, dan jaringan pembuluh dianggap cukup memadai untuk membedakan tumbuhan. Secara umum, dunia tumbuhan dibagi menjadi tumbuhan berpembuluh (Tracheophyta) dan tidak berpembuluh (Thallophyta) kemudian tumbuhan berpembuluh dibagi lagi menjadi dua yaitu pertama tumbuhan yang alat reproduksinya tersembunya misalnya paku dan kedua tumbuhan berbiji spermatophyte. Tumbuhan berbiji dibagi lagi menjadi angiospermae (biji tertutup) dan gymnospermae (biji terbuka). Angiospermae merupakan kelompok tumbuhan yang paling akhir muncul dan kini membentuk bagian utama dari vegetasi alam dan dibudidayakan di bumi.
Pada tumbuhan berbiji, biji menggantikan spora sebagai cara utama penyebaran keturunan. Pada briofita dan tumbuhan vaskulet tak berbiji, spora yang dihasilkan olrh sporofit merupakan tahapan resisten dalam siklus hidup, yang dapat bertahan pada lingkungan yang tidak menguntungkan. Dan karena ukurannya yang sangat kecil, spora dapat tersebar dalam keadaan dorman ke suatu daerah baru, tempat spora akan berkecambah menjadi gametofit lumut baru jika lingkungan cukup memungkinkan bagi spora mengakhiri keadaan dorman tersebut.
Biji menunjukkan penyelesaian masalah dengan cara yang berbeda untuk derajat bertahan dalam lingkungan yang tidak menguntungkan dan untuk menyebarkan keturunan. Biji terdiri dari embrio sporofit yang terbungkus bersama dengan cadangan makanan di dalam lapisan pelindung. Gametofit yang tereduksi pada tumbuhan berbiji berkembang dalam jaringan sporofit parental. Hal ini terjadi karena sporofit induk menyimpan spora di dalam sporangia. Semua tumbuhan berbiji adalah heterospora, yang berarti memiliki dua jenis sporangia yang berbeda, yang menghasilkan dua jenis spora: megasporangia yang menghasilkan megaspora dan menjadi gametofit betina (mengandung sel telur); dan mikrosporangia yang menghasilkan mikrospora, yang akan menjadi gametofit jantan (mengandung sperma).
Evolusi biji dikaitkan dengan megasporangium. Pada tumbuhan berbiji, megasporangium bukanlah suatu ruangan, akan tetapi sebaliknya merupakan struktur berdaging padat yang disebut nusellus. Perbedaan lain dengan tumbuhan tak berbiji adalah bahwa lapisan tambahan jaringan sporofit, yang disebut integumen, membungkus megasporangium tumbuhan berbiji. Keseluruhan struktur tersebut–integumen, megasoprangium (nusellus) dan megaspora disebut ovul atau bakal biji.
Serbuk sari (polen) menjadi pembawa sel-sel sperma pada tumbuhan berbiji. Mikrospora pada tumbuhan berbiji berkembang menjadi butiran serbuk sari, yang jika matang menjadi gametofit jantan tumbuhan berbiji. Butiran serbuk sari, yang dilindungi oleh lapisan keras yang mengandung sporopollenin, dapat dibawa oleh angin atau hewan setelah dilepaskan dari mikrosporangium. Jika suatu butiran serbuk sari atau gametofit jantan, jatuh di sekitar bakal biji, serbuk sari akan memanjangkan pipanya, yang akan melepaskan satu atau lebih sperma ke dalam gametofit betina di dalam bakal biji tersebut.
GIMNOSPERMAE
Gimnospermae berarti tumbuhan tesebut memiliki struktur biji telanjang atau biji terbuka tidak memiliki ruangan pembungkus atau ovarium tempat biji angiospermaee berkembang. Di antara dua kelompok tumbuhan berbiji, Gimnospermae terlihat dalam catatan fosil jauh lebih awal dibandingkan angiospermae. Gimnospermae kemungkinan merupakan keturunan dari proGimnospermae, suatu kelompok tumbuhan masa Devon. Progimnsoperma pada mulanya adalah tumbuhan tak berbiji, akan tetapi pada akhir masa Devon, biji telah dievolusikan. Radiasi adaptif selama Karboniferus dan awal Premium menghasilkan berbagai divisi Gimnospermae.
Tumbuhan Gimnospermae memiliki empat divisi, yaitu Cycadophyta, Ginkophyta, Gnetophyta dan Coniferophyta. Sikad, (divisi Cycadophyta) menyerupai palem, namun bukan palem sejati, yang merupakan tumbuhan berbunga. Karena merupakan Gimnospermae, sikad, memiliki biji terbuka yang terdapat dalam sporofit, yaitu daun yang terspesialisasi untuk reproduksi. Evolusi biji dikaitkan dengan megasporangium di mana pada tumbuhan berbiji bukanlah suatu ruangan, akan tetapi sebaliknya merupakan struktur berdaging padat yang disebut nusellus. Pada tumbuhan berbiji, keseluruhan struktur integumen, megasporangium, dan megaspore membentuk ovul yang disebut bakal biji. Di dalam bakal biji tersebut, gametofit betina berkembang di dalam dinding megaspore dan disuplai makanan oleh nusellus. Jika tejadi pembuahan, maka zigot akan berkembang menjadi embrio sporofit dan disebut biji. Ketika biji lepas dari integument, biji dapat dorman sampai pada kondisi yang memungkinkan biji berkecambah. Contoh tanaman divisi Cycadophyta adalah Cycas revoluta.
Ginkgo biloba adalah satu-satunya spesies yang masih hidup dari divisi Ginkgophyta. Tumbuhan ini memiliki daun seperti kipas yang warnanya berubah keemasan dan rontok pada musim gugur, suatu sifat yang tidak umum bagi Gimnospermae. Divisi Gnetophyta terdiri atas tiga genus yang kemungkinan tidak berkerabat dekat satu sama lain. Satu diantaranya, Welrwitschia. Tumbuhan dari genus kedua, Gnetum, tumbuh di daerah tropis sebagai tumbuhan merambat dan Ephedra (teh Mormon), genus ketiga Gnetophyta. Siklus hidup pinus menunjukkan adaptasi reproduktif kunci pada tumbuhan berbiji. Evolusi tumbuhan berbiji menambahkan tiga adaptasi kunci kehidupan darat dalam reproduksi; peningkatan dormansi generasi sporofit; adanya biji sebagai tahapan dalam siklus hidup yang resisten dan dapat disebarluaskan; dan evolusi serbuk sari sebagai agen yang menyatukan gamet

ANGIOSPERMAE
Angiospermae atau tumbuhan berbunga, sejauh ini merupakan tumbuhan yang paling beraneka ragam dan secara geografis paling tersebar luas. Selama masa evolusi angiospermae, xilem merupakan bagian yang lebih terspesialisasi. Xilem diduga berkembang dari sel-sel trakeid yang pada gymnospermae berperan menghantarkan air. Pada angiospermae, sel trakeid berkembang menjadi sel-sel yang lebih pendek, dan lebih luas yang disebut unsur pembuluh. Unsur pembuluh membentuk saluran yang bersambung yang lebih terspesialisasi. Xilem diperkuat dengan serat (fiber) yang juga berkembang dari trakeid. Trakeid adalah sel yang memanjang dan meruncing yang berfungsi membantu proses mekanis dan pergerakan air ke bagian atas tumbuhan. Pada sebagian besar Angiospermae, sel-sel yang lebih pendek dan lebih luas disebut unsure pembuluh yang berkembang dari trakeid. Xylem Angiospermae diperkuat oleh jenis sel kedua, serat (fiber), yang juga berkembang dari trakeid. Sel-sel serat berkembang pada conifer, akan tetapi unsur pembuluh tidak berkembang. Perbaikan dalam jaringan vaskuler dan perkembangan dalam struktur lainnya sudah pasti memberikan sumbangan Selain spesialisasi xilem, faktor terbesar perkembangan angiospermae adalah evolusi bunga. Bunga memiliki tingkat efisiensi reproduksi yang sangat tinggi pada tumbuhan. Bunga adalah tunas yang mampat dengan empat lingkaran daun yang termodifikasi menjadi kelopak, mahkota, benang sari, dan putik. Kemunculan radiasi tumbuhan berbunga, menyebabkan bentang alam bumi berubah secara dramatis. Nenek moyang angiospermae masih belum dipastikan, tetapi hasil analisis kladistik pada ciri homolog menunjukkan gimnospermae dari divisi Gnetophyta sebagai kerabat paling dekat dengan angiospermae. Fosil tertua angiospermae ditemukan pada batuan awal masa Kretaseus yang berusia sekitar 130 juta tahun.
Bunga  adalah struktur reproduksi Angiospermae. Pembungkusan biji di dalam ovarium merupakan salah satu ciri dan sifat yang membedakan Angiospermae dari Gimnospermae. Putik kemungkinan berkembang dari daun yang mengandung biji yang menggulung membentuk tabung sejumlah Angiospermae memiliki bunga dengan putik tunggal dan sebagian lain memiliki dua atau lebih putik yang menyatu, yang umumnya membentuk ovarium dengan banyak ruangan yang mengandung bakal biji. Buah (fruit) adalah ovarium yang sudah matang. Setelah biji berkembang selepas pembuahan, dinding ovarium menebal. Berbagai modifikasi pada buah membantu menyebarkan biji.  Siklus hidup Angiospermae merupakan versi yang sangat maju dari pergiliran generasi yang umum. Angiospermae bersama dengan semua tumbuhan berbiji. Bunga sporofit menghasilkan mikrospora yang membentuk gametofit jantan dan megaspora membentuk gametofit betina.
C.     DAUN TUMBUHAN BERBIJI
Baik dari segi morfologi dan anatominya, daun merupakan organ yang beragam. Struktur tangkai daun atau tulang daun mirip dengan batang. Cirri penting pada daun adalah pada spermatophyta bahwa, aktivitas meristem daun ditentukan oleh pertumbuhan interkalar dan marginal.  Istilah bagi seluruh daun pada tanaman adalah phllom. Namun dikenal juga istilah daun hijau, katafil, hipsofil dan kotiledon. Daun hijau adalah daun untuk fotositensis dan biasanya berbentuk pipih mendatar sehingga mudah untuk memperoleh sinar matahari dan gas CO2. Katafil adalah sisik dibawah tunas atau batang dibawah tanah berguna untuk pelindung atau tempat cadangan makanan. Daun pertama pada cabang lateral disebut prophyll, pda monokotil hanya ada satu heelai prophyll dan pada dikotil ada dua helai. Hipsofil berupa berbagai jenis brakte yang mengiringi bunga dan sebagai pelindung. Kadang-kadang berwarna cerah serupa mahkota dan kotiledon merupakan daun pertama tumbuh. Daun dibedakan menjadi dua yaitu daun majemuk dan daun tungga, pda daun majemuk terdapat anak daun yang melekat pada                               
Studi baru dalam bidang Ecology Letters menyingkap dimulainya evolusi yang menyebabkan tanaman berbunga primitif mendapatkan keuntungan kompetitif dibanding spesies lainnya, sehingga mereka dapat mendominasi dalam jumlah besar. Studi yang dipimpin Dr. Tim Brodribb (University of Tasmania) dan Dr. Taylor Field (University of Tennessee) ini menggunakan fisiologi tanaman untuk mengetahui bagaimana tanaman bunga, termasuk tanaman pangan mampu mendominasi bumi dengan mengembangkan sistem hidrolis yang lebih efisien, atau ‘saluran pipa daun’, untuk meningkatkan kemampuan fotosintetis. “Tanaman bunga adalah spesies terbesar dan sekelompok tanaman di bumi yang sukses secara ekologi,” kata Brodribb. “Salah satu alasan dominasi ini adalah karena kapasitas fotosintesis daun yang cukup tinggi, tetapi kapan dan bagaimana dimulainya peningkatan kapasitas fotosintesis ini berkembang menjadi suatu misteri.” Menggunakan pengukuran densitas pembuluh vena daun dan dihubungkan dengan model fotosintesis-hidrolis, Brodribb dan Field merekonstruksi evolusi kapasitas hidrolis daun pada tanaman berbiji. Hasil yang didapatkan adalah transformasi evolusi pompa angiosperm daun mendorong kapasitas fotosintesis ke tingkat yang baru. Alasan suksesnya langkah evolusi ini adalah di bawah kondisi atmosfir CO2 yang cukup rendah, seperti saat ini, efisiensi pengangkutan air dan hasil fotosintesis ternyata berhubungan dekat. Karena itu adaptasi yang meningkatkan pengangkutan air akan meningkatkan fotosintesis secara maksimal, menggunakan kekuatan evolusi secara luar biasa untuk memenangkan kompetisi spesies. Evolusi densitas vena daun pada tanaman bunga sekitar 140-100 juta tahun lalu adalah suatu proses yang sangat penting bagi berlanjutnya evolusi tanaman bunga. Langkah ini menyediakan ‘paket stimulus produktivitas zaman Cretaceous’ yang terus menggema di seluruh biosfir dan memungkinkan tanaman ini memainkan peranan fundamental dalam fungsi biologis dan atmosferik di bumi. “Tanpa sistem hidrolis kami perkirakan fotosintesis daun akan dua kali lebih rendah daripada sekarang,” kesimpulan Brodribb. “Sehingga penting diingat bahwa tanpa langkah evolusi ini tanaman tidak akan mempunyai kapasitas fisik untuk menghasilkan produktivitas tinggi yang mendukung biologi dunia moderen dan peradaban manusia.
D.    AKAR TUMBUHAN BERBIJI
Pemetaan filogenetik dari evolusi akar menunjukkan bahwa organ
ini berevolusi setidaknya dua kali: masing-masing dalam Lycophytina dan Euphyllophytina. Anggapan saat ini adalah bahwa awal polysporangiophytes tidak memiliki morfologis yang berbeda antara sistem akar dan tunas. Bentuk sporofit tersebut terdiri dari telomes, sistem aksial yang dichotomi di apeks. Dalam awal perkembangan dengan system telom daun tumbuh pada bagian batang akar berkembang aksial. Jika hal ini terjadi, maka akar di
homolog dengan tunas.
Menurut Suradinata (1998) bahwa fenomena pertama perkembangan awal akar dalam embrio adalah organisasi meristem apeks akar dibawah hipokotil. Setelah biji berkecambah, meristem apeks akar membentuk akar utama. Akar cabang dan akar adventif juga menunjukan karakteristik susunan sel-sel dalam meristem apeks, kurang lebih sama dengan akar utamanya. Meristem apeks yang mempunyai pemula-pemula bersama secara filogenetik adalah primitif. Analisis asal mula pembentukan jaringan akar berdasarkan perbedaan sel pemula apek ada hubungannya dengan pendekatan yang digunakan oleh Hanstein yang memformulasikan teori histogen.

E.     BUNGA TUMBUHAH BERBIJI
Meskipun angiosperma adalah salah satu kelompok terbaru dari tumbuhan darat yang telah berevolusi, masi sedikit informasi mengenai evolusi bunga. Saat ini ada dua hambatan utama untuk rekonstruksi terkait dengan asal-usul dan awal diversifikasi angiosperma. Pertama, catatan makrofosil dari tanaman berbunga telah memberi petunjuk masih ada morfologi bunga angiosperma yang lebih kuno. Setidaknya 10 juta
singa tahun lebih muda dari mikrofosil angiosperma pertama.
Hanya sedikit bukti yang jelas mengenai bunga dari angiosperm pertama. Tambahan kendala untuk mempelajari asal-usul tanaman berbunga berasal dari ketidakpastian tentang identitas lengkap dari kerabat terdekat dari angiosperm.
Teori yang biasa dianut dianggap bahwa bunga adalah homolog dengan pucuk vegetative, dan daun bungan homolog dengan daun hijau. Konsep yang juga dianut, yakni bahwa macam daun yang ditemukan pada paku, gymnospermae, dan angiospermae yang berkembang dari system cabang telah memunculkan dugaan bahwa, dalam satu evolusi parallel antara daun dan bagian bunga, pemisahaan nya muncul sebelum bentuk daun muncul.
Jika dilihat dari fosil yang terekam dalam lapisan-lapisan sedimen di kerak Bumi, fosil tumbuh-tumbuhan tertua tercatat berusia 425 juta tahun, yang ditunjukkan dengan keberadaan fosil  fern, fir, conifer dan beberapa varietas tumbuhan purba yang lain. Sementara di masa 130 juta tahun silam tumbuhan berbunga mulai mewarnai permukaan Bumi. Di antara dua masa itu tidak diketahui secara pasti bagaimana tumbuhan yang lebih tua mampu berevolusi membentuk tumbuhan berbunga. Bapak evolusi Charles Darwin menjumpai fenomena ini sejak abad 19 lalu. Sejak itu berbagai kemungkinan diungkapkan, namun permasalahan ini masih kontroversial hingga sekarang. Di kalangan ilmuwan, fenomena ini dikenal sebagai salah satu misteri Darwin. 
Di tengah berbagai kemungkinan yang ada, sebuah tim geokimia dari Stanford mengungkapkan bahwa tumbuhan berbunga mulai berevolusi sejak 250 juta tahun yang lalu. Artinya jauh-jauh hari sebelum butiran tepung sari pertama tercetak sebagai fosil. Menurut J. Michael Moldowan, profesor peneliti geologi lingkungan Stanford, penelitian mereka mengindikasikan bahwa tumbuhan berbunga pertama mulai muncul di era Permian dalam masa sekitar 290 - 245 juta tahun yang lalu. Kami mendasarkan penelitian ini pada sebuah senyawa organik yang dinamakan oleanane, yang acap ditemukan pada fosil-fosil tumbuhan ", tambah Moldowan. " Ini merupakan langkah maju. Selama ini kerja para palentolog terbatas pada anatomi tumbuhan purba yang tercetak dalam fosil secara detil, bukan pada molekul pembentuk (oleanane) ", kata Bruce Runnegar, profesor palentologi di University California of Los AngelesOleanane merupakan senyawa organik yang diproduksi oleh berbagai macam tumbuhan dan berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tumbuhan terhadap serangan serangga, jamur dan berbagai aktivitas mikroba lainnya. Namun senyawa ini tidak dijumpai pada beberapa tumbuhan seperti pinus.
Moldowan dan koleganya mempelajari sedimen-sedimen berumur Permian yang mengandung sisa-sisa tumbuhan purba yang dikenal sebagai gigantopterids. Dalam lapisan sedimen yang sama pula ditemukan oleanane. Hal ini memperlihatkan bahwa gigantopterids pun memproduksi oleanane, layaknya tumbuhan moderan pada saat ini. Dari sini biolog David W. Taylor dari Indiana University menyimpulkan bahwa tumbuh-tumbuhan berbunga telah ada jauh lebih awal. Penemuan ini cukup penting karena dalam waktu yang belum lama juga di daratan Cina ditemukan fosil gigantopterids yang lengkap dengan daun dan batangnya, yang sangat mirip jika dibandingkan dengan tumbuhan berbunga modern. Taylor memperkirakan bahwa gigantopterids dan tumbuhan berbunga mulai berevolusi dari tumbuhan yang lebih tua secara bersama-sama semenjak 250 juta tahun yang lalu.



Perkembangan tanaman darat berasal dari alga yang hidup di air. Alga tersebut secara berangsur-angsur membentuk organ yang digunakan untuk menunjang kehidupan di daratan. Selain organ, proses reproduksi juga berubah. Tanaman yang pertama muncul memiliki strukstur sederhana dan berkembang menjadi spora. Seiring perkembangannya, struktur sederhana tersebut menjadi akar, batang, daun dan struktur reproduksi semakin maju. Hingga muncul tumbuhan berbiji terbuka dan tertutup yang memiliki bunga.



DAFTAR PUSTAKA
Bowman, J. L. 2013. Walkabout on the long branches of plant evolution. Current Opinion in Plant Biology, 16:70–77
Boyce, C. Kevin. 2010 The evolution of plant development in a paleontological context. Current Opinion in Plant Biology, 13:102–107
Delauxa, Pierre-Marc, Amrit Kaur N., Catherine M., Nathalie S. D., Christophe D. 2012. Perspectives in Plant Ecology, Evolution and Systematics Perspectives in Plant Ecology. Evolution and Systematics 14 (2012) 49– 59
Mitchell, Cambell Recce. 2003. Biologi. Jakarta: Erlangga
Riedman, W. E. F, Richard C. M., Michael D. P U.. 2012. The Evolution Of Plant Development. American Journal Of Botany 91(10): 1726–1741. 2004
Tjitrsoepomo, Gembong. 2007. Taksonomi Tumbuhan (Spermatopyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University press
Waluyo, Lud. 2010. Miskopensi dan Kontrovensi Evolusi. Malang: UMM Press




Wednesday, April 19, 2017

Gen Editing

Terapi gen secara historis telah didefinisikan sebagai penambahan gen baru untuk sel manusia. Namun, munculnya teknologi gen editing telah menimbulkan paradigma baru di mana urutan genom manusia dapat dimanipulasi untuk mencapai efek terapeutik. Termasuk penyembuhan penyakit yang disebabkan mutasi, pengobatan dengan terapi gen, dan penghapusan gen atau urutan genom yang rusak.  Konsep terapi gen adalah menggantikan urutan DNA yang meyebabkan kecacatan dengan urutan DNA yang benar.  Tantangan dari teknoloi gen editing adalah keterbatasan untuk secara tepat mengontrol penyisipan materi genetik ke dalam sel, menjaga stabilitas gen saat pembelahan sel dan kemungkinan efek yang ditimbulkan masih tidak terduga. Selain itu gen yang terlalu besar tidak mudah untuk ditransfer oleh vekor yang tersedia. Namun demikian, kemajuan teknik penambahan gen eksogen telah banyak mengalami kemajuan dan menunjukkan hasil klinis yang menjanjikan sebagai salah satu teknik pengobatan.

MEKANISME GEN EDITING
Dasar untuk bidang gen editing adalah penemuan bahwa kerusakan DNA untai ganda (Double Strand Breaks/DSB) dapat digunakan untuk merangsang perbaikan sel secara endogen.
DNA biasanya diperbaiki melalui salah satu dari dua pathways utama perbaikan homolog (HDR) atau penggabungan akhir (NHEJ). Maria Jasin menunjukkan bahwa efisiensi perbaikan gen melalui rekombinasi homolog dalam sel mamalia bisa dirangsang lebih cepat oleh situs target DSB.   NHEJ berfungsi untuk perbaikan tanpa template melalui religasi langsung dari bagian ujung.  Jalur perbaikan ini rawan kesalahan dan sering menyebabkan penyisipan atau penghapusan (indels) di lokasi istirahat.

Gen Knockout/Mutasi
Bentuk paling sederhana dari gen editing memanfaatkan sifat rawan terjadinya kesalahan dari NHEJ untuk mengenali indels kecil di situs target. NHEJ klasik langsung mengikat DNA diproses akhir sedangkan alternatif NHEJ (Juga dikenal sebagai end microhomology-mediated and joining atau MMEJ). Aktif selama semua tahap siklus sel, kedua jalur NHEJ ini memperbaiki DNA dengan  mutagenesis, menghasilkan pembentukan indels di lokasi istirahat. Ketika situs target nuklease ditempatkan di daerah pengkode gen, indels yang dihasilkan sering menyebabkan frameshifts. Pada penyakit seperti Duchenne Muscular Dhystrophy (DMD), delesi mengakibatkan frameshifts dan kehilangan fungsi protein yang seharusnya dihasilkan, NHEJ diinduksi untuk digunakan untuk mengembalikan reading frame yang benar dari gen.
Penerapan yang paling umum mutagenesis adalah gen knockout (KO). Berbeda dengan tradisi terapi gen, yang terbatas pada penambahan eksogen urut ke dalam genom, penggunaan KO untuk menambahkan gen secara endogen merupakan peluang baru pengobatan terapi gen. Salah satu aplikasinya adalah untuk pengobatan penyakit Huntington. Penyakit ini disebabkan oleh pengulangan alel dari Gen huntingtin (HTT) yang menghasilkan protein HTT mutan yang beracun. Menghilangkan alel mutan dengan editing gen berbasis NHEJ bisa memberikan manfaat klinis untuk pasien Huntington. Metode ini juga diterapkan untuk pengobatan HIV.
Delesi Gen
Daripada langsung menargetkan pada genom manusia, KO gen dilakukan dengan bantuan virus. Metode NHEJ memungkinkan untuk menghapus segmen besar dari DNA. Pendekatan ini berguna untuk strategi terapi yang mungkin memerlukan penghapusan seluruh unsur genomik, seperti daerah penambah, sebagaimana untuk pengobatan hemoglobinopathies dengan penghapusan BCL11A eritroid.

Koreksi Gen
Koreksi gen NHEJ, dapat menginduksi editing gen yang tepat dengan merangsang HDR dengan template donor eksogen yang disediakan. Aktif selama fase S dan G2, HDR secara alami menggunakan kromatit sebagai template untuk perbaikan DNA. Urutan gen eksogen juga dapat digunakan sebagai template untuk proses perbaikan. Perbedaan urutan dalam template donor dapat dimasukkan ke dalam lokus endogen untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan mutasi. Vektor virus seperti lentivirus atau Virus Adeno Associated (AAV) juga dapat digunakan sebagai sumber DNA donor.

Insersi Gen
Meskipun terapi gen tradisional telah berhasil menggunakan vektor virus untuk memasukkan gen eksogen ke dalam genom, ketidakmampuan untuk mengontrol situs integrasi virus ini menimbulkan mutagenesis insersional. Penggunaan template donor, di mana penyisipan genetik yang diinginkan menggunakan urutan homolog identik dengan nuclease, memungkinkan lokasi spesifik penyisipan DNA melalui DSB diinduksi HDR. Target penyisipan gen terapi ke situs yang telah ditentukan dalam genom, mengurangi risiko insersional mutagenesis dan memungkinkan keberhasilan ekspresi gen lebih tinggi. Mekanisme alternatif untuk transgen adalah dengan menggunakan DSBs nuklease untuk membuat DNA kompatibel antara DNA donor dan situs endogen.

Zinc Finger Nucleases (ZFN)
Zinc finger (ZF) adalah protein faktor transkripsi yang jumlahnya melimpah dan Cys2 His2 domain zinc finger adalah salah satu yang paling umum ditemukan dalam genom manusia. Struktur kristal Zif268 sebagai dasar untuk memahami DNA ZFN. Dalam Kehadiran atom seng, domain zinc finger membentuk ββα struktur dengan α-helic masing-masing jari membuat kontak dengan 3 atau 4 bp dalam alur utama DNA.  Peneliti telah berhasil membuat rancangan ZFS bekerja dengan baik. Namun masih banyak yang harus dikembangkan, misalnya menggunakan OPEN untuk menyeleksi protein. Teknologi ZFN memungknkan  domain DNA dan cleavage domain dari FokI restriksi endonuklease bebas satu sama lain. Dengan mengganti FokI DNA binding domain dengan domain zinc finger, dapat  menghasilkan chimeric nucleases dengan pengikatan khusus. Awal percobaan menunjukkan bahwa DSBs diinduksi ZFN dapat digunakan untuk memodifikasi genom baik melalui NHEJ atau HDR .Teknologi l\telah berkembang digunakan untuk memodifikasi gen somatik manusia

TALENs
Penemuan TALE dari gen Xanthomonas sangat menarik untuk mendesain DNA binding protein. Asam amino TALE 33-35 mengulang setiap mengikat pasangan basa tunggal DNA dengan spesifisitas ditentukan oleh dua residu hypervariable. Struktur kristal DNA mengungkapkan bahwa setiap pengulangan membentuk struktur helix dihubungkan oleh sebuah loop yang menyajikan residu hypervariable ke dalam alur utama sebagai protein pembungkus di sekitar DNA dalam struktur superheliks. Juga mirip dengan ZFNs, Talens telah terbukti secara efisien menginduksi baik NHEJ dan HDR di somatik manusia.

Meganucleases
Teknologi meganuclease melibatkan spesifisitas pengikatan DNA endonucleases. Kelas terbesar dari endonuklease adalah keluarga LAGLIDADG, yang meliputi I-CreI Saya dan I-SceI.  Melalui kombinasi desain dan seleksi, endonuclease dapat direkayasa untuk menciptakan urutan baru. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa meganuklease dapat digunakan untuk mengedit genom DNA.

CRISPR / nucleases
CRISPR-Cas berasal dari sistem kekebalan tubuh yang berkembang pada bakteri untuk melawan invasi plasmid dan virus. Tiga komponen diperlukan untuk sistem CRISPR nuklease adalah Cas9 protein, crRNA dan tracrRN. Sistem ini dapat dikurangi menjadi dua komponen fusi dari crRNA dan tracrRNA menjadi panduan tunggal RNA (gRNA). Pembentukan heterodupleks DNA-RNA di situs target memungkinkan untuk pembelahan DNA target dengan Cas9-RNA kompleks. Berbeda dengan tiga sistem nuklease, CRISPR/Cas nucleases tidak memerlukan rekayasa protein baru untuk setiap situs target DNA. Lebih mudah dilakukan hanya dengan mengubah daerah pendek dari gRNA yang menentukan spesifisitas. Selain itu, karena protein Cas9 tidak secara langsung digabungkan ke gRNA, sistem dapat digunakan bersamaan dengan gRNAs untuk menginduksi DSBs di beberapa lokus.

APLIKASI GENE TERAPI
Kemampuan untuk memanipulasi setiap urutan genom dengan mengedit gen telah menciptakan beragam kesempatan untuk mengobati banyak penyakit berbeda

Antivirus
Aplikasi yang paling sederhana dari editing gen adalah dengan menggunakan mekanisme NHEJ untuk Knockout (KO) gen dalam terapi sel secara ex vivo, di mana sel-sel somatik dapat diisolasi, dimodifikasi, dan transfer kembali ke pasien. Mekanisme yang paling canggih adalah modifikasi sel T secara ex vivo untuk melumpuhkan CCR5 coreceptor digunakan untuk HIV. Studi awal ini menunjukkan penurunan viral load dan peningkatan jumlah CD4+ T-sel pada tikus yang terinfeksi HIV di mana gen CCR5 telah digantikan oleh nucleases zinc finger. Hasil yang sama pada editing gen dan transplantasi CD34+ HSCS ke tikus yang telah di iradiasi, memungkinkan untuk melindungi keturunan dari infeksi HIV CCR5-tropik. Telah dilakukan serangkaian uji klinis uji positif HIV pada pasien manusia. Sejauh ini hasil penelitian menunjukkan metode gen editing dapat dilakukan bagi pasien manusia.
Data dari penelitian ini menunjukkan efikasi klinis yang lebih besar pada pasien yang heterozigot. Pengendalian virus HIV dilakukan dengan pengembangan strategi menggunakan gen editing mirip dengan KO CCR5  dengan Talens, CRISPR/Cas9 dan meganucleases. Penelitian lain telah berkembang dengan menargetkan CCR5 untuk meningkatkan daya tahan terhadap infeksi HIV. Termasuk sasaran dari coreseptor CXCR4 232 atau PSIP1 yang mengkode LEDGF/protein p75 yang dibutuhkan untuk integrasi HIV. Selain virus HIV juga telah diterapkan untuk berbagai virus lainnya  termasuk virus hepatitis B, virus herpes, dan virus papiloma manusia.  Strategi ini biasanya melibatkan menghapus genom virus dengan degradasi berikut.

Cancer Immunotherapy
Cancer immunotherapy telah diakui sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam penelitian biomedis dalam beberapa tahun terakhir. Secara khusus, mengadopsi imunoterapi T-sel, di mana sel T direkayasa untuk menyerang antigen kanker secara ex vivo dan ditransfer kembali ke pasien, telah mampu mengobati beberapa kasus limfoma, leukemia, dan melanoma. Meskipun keberhasilan dan uji klinis yang menjanjikan sedang berlangsung, ada beberapa daerah di mana imunoterapi T-sel bisa ditingkatkan dengan gen editing. Strategi untuk imunoterapi melibatkan rekayasa sel T untuk mengekspresikan reseptor sintetis yang dikenal sebagai reseptor antigen chimeric atau CAR pada sel kanker. Tantangan utama untuk pengembangan immunoterapi sel T dapat adalah kebutuhan untuk menggunakan sel autologous untuk menghindari penolakan kekebalan tubuh. Untuk mengatasi hal ini, gen editing menggunakan untuk KO pada antigen leukosit manusia (HLA) oleh sistem kekebalan tubuh.
Pendekatan ini mungkin berguna untuk allogeneic terapi sel luar imunoterapi T-sel. Sebagai contoh, pendekatan yang telah diterapkan dalam sel pluripoten manusia memiliki kegunaan yang beragam dalam pengobatan regeneratif serta di sel endotel yang dapat digunakan untuk cangkok pembuluh darah alogenik. Hambatan utama untuk imunoterapi sel T adalah penghambatan fungsi efektor sel T oleh ekspresi inhibitor pos pemeriksaan di permukaan sel-sel tumor.
Sebagai contoh, pengikatan inhibitor PD-1 reseptor pada sel T untuk memblokir fungsi efektor sel T dan menginduksi apoptosis. PD-1 reseptor terhambat sehingga sel-sel kanker berhasil menghindari sistem kekebalan tubuh. Sebagai strategi untuk mengatasi hal ini, editing gen telah digunakan untuk KO
PD-1 dalam sel T,
mengarah ke peningkatan fungsi efektor sel T.

Gangguan Hematologi
Uji klinis terapi gen pertama Therapiutik Adenosin Deaminase (ADA) transgen sel-sel T untuk mengobati anak-anak dengan immunodefisiensi (ADA-SCID) dan kemudian pengobatan SCID X-linked (X-SCID) oleh pengiriman gen retroviral untuk CD34+ hematopoietik sel induk (HSCS). Fokus awal terapi gen ex vivo untuk immunodeficiency didasarkan pada kebutuhan untuk mengembangkan pengobatan serta memanfaatkan metode untuk pengiriman gen retroviral. Contoh pertama dari koreksi gen endogen dalam sel manusia difokuskan pada reseptor IL2 rantai gamma yang bermutasi di X-SCID. Koreksi di CD34 + HSCS sebagai alat gen editing juga telah dikembangkan untuk memperbaiki mutasi gen yang terkait dengan ADA-SCID  dan SCID radiosensitive, disebabkan oleh gangguan DNA-dependent kinase protein (DNA-PK).
Pembentukan editing gen di CD34+ HSCS dan sel pluripotent manusia telah memberikan pilihan baru untuk mengobati gangguan hematologi, termasuk penyakit sel sabit, yang disebabkan oleh mutasi titik E6V tertentu di β-globin, dan β thalassemia, yang disebabkan oleh jenis mutasi ke β-globin. Mutasi globin diperbaiki dengan mengedit gen kedua di iPSCs manusia. Gen editing untuk terapi sel eritroid dan inaktivasi enhancer dengan mengedit gen menyebabkan penekanan BCL11A dan peningkatan regulasi γ-globin hanya dalam sel erythroid. Pendekatan ini dapat digunakan sebagai mekanisme terapi untuk penyakit sel sabit dan thalassemia.

Editing Gen Hati
Target koreksi gen dalam hati memiliki potensi untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk gangguan pembekuan hemofilia A dan hemofilia B, termasuk penyakit Fabry, penyakit Gaucher, Pompe, von Gierke, Hurler dan Hunter sindrom. Namun, masing-masing populasi pasien relatif kecil dan jenis mutasi untuk setiap gen yang terlibat dalam penyakit ini berbeda. Permasalahan yang masih muncul apakah koreksi gen dapat dicapai untuk mencapai keberhasilan terapi jika didorong oleh promotor endogen alami yang sesuai untuk setiap gen. Pendekatan untuk mengatasi masalah ini adalah integrasi gen terapeutik ke albumin lokus hilir promotor albumin endogen. Pendekatan ini telah efektif digunakan pada tikus berbasis AAV donor homolog template untuk mengobati hemofilia tanpa nucleases 71 dan dengan ZFNs yang mungkin untuk meningkatkan penargetan efisiensi.
Munculnya CRISPR sistem/Cas9 memungkinkan teknoologi gen editing untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Editing gen dengan CRISPR/Cas9 menggunakan tikus dengan injeksi melalui vena plasmid DNA ke tikus. Meskipun secara keseluruhan efisiensi gen editing yang relatif rendah (0,4%), model ini memungkinkan untuk pemilihan koreksi sel.
PCSK9 mengkode proteinase. Penurunan tingkat LDLR menyebabkan metabolisme yang lebih rendah pada kolesterol LDL (LDL-C), peningkatan LDL-C, dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Penemuan variasi genetik alami yang mengarah ke aktivitas tinggi atau rendah dan kadar kolesterol yang sesuai telah menyebabkan ketertarikan pada PCSK9 blocking untuk menurunkan kolesterol. Dua studi yang berbeda telah menunjukkan bahwa pengobatan tunggal dari Cas9 dan PCSK9 bertarget gRNA diberikan ke hati dapat kadar kolesterol.
Selain editing gen dalam hati, juga digunakan untuk diferensiasi sel-sel pluripotent manusia menjadi fungsi hepatosit untuk sebagai alternatif koreksi sel. Sebagai contoh, α-1-Antitrypsin dikoreksi oleh editing gen di iPSCs manusia dan kemudian dibedakan menjadi sel-sel hati yang menunjukkan pemulihan gen. Meskipun jenis produk berbasis sel mungkin secara signifikan lebih kompleks daripada obat berbasis virus, penelitian ini memungkinkan untuk analisi genom yang komprehensif.

Gangguan
Neurotransmitter
Kemajuan dalam pengiriman gen dan transplantasi sel ke pusat sistem saraf, otot rangka dan jantung memungkinkan terapi sel digunakan pada banyak gangguan neuromuscular, termasuk DMD, atrofi otot, ataksia, Huntington, dan amyotrophic lateral sclerosis (ALS).  DMD disebabkan oleh mutasi pada gen distrofin, yang paling sering adalah delesi yang menggeser fragmen gen keluar dari frame dan membuat produk protein nonfungsional. Karena coding urutan gen distrofin sangat besar (14 kb), tidak dapat dikemas menjadi vektor pengiriman virus. Meskipun pemotongan mini gene telah dikembangkan untuk menjadi vektor virus, hanya sebagian yang fungsional dibandingkan dengan itu gen yang utuh dan kemampuan mereka untuk membalikkan penyakit manusia masih harus diteliti lagi. Teknologi genom editing dalam sel kultur dari pasien DMD menunjukkan disfungsi trophin atau restorasi ekspresi protein distrofin.
Untuk mengembangkan menjadi suatu pendekatan yang berpotensi diterapkan secara klinis untuk pasien DMD, penelitian terbaru telah memasukkan yang CRISPR sistem/Cas9 ke vektor AAV dengan tropisme untuk otot jantung.   Telah diuji pada tikus dengan diiterapkan secara lokal melalui intramuscular atau sistemik melalui injeksi intravena untuk  DMD, editing gen oleh CRISPR / Cas9. Satu studi menunjukkan editing gen Pax7-positif sel progenitor otot yang dapat bertindak sebagai sumber terbarukan sel di mana gen distrofin telah diperbaiki. Pendekatan translasi ini dilakukan editing gen di otot rangka dengan adenoviral dan koreksi mutasi distrofin di single-cell embrio tikus  untuk membalikkan gejala penyakit.

Gangguan Kulit
Pengembangan cangkok kulit dari autologus dan sel alogenik, termasuk sel-sel iPS, menciptakan kemungkinan baru untuk mengobati penyakit genetik yang mempengaruhi kulit. Sebagai contoh, resesif distrofik epidermolisis bulosa adalah penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada gen pengkodean jenis kolagen VII. Kemungkinan dapat diobati dengan memperbaiki sel-sel pasien dengan genom editing dan menggunakan sel-sel untuk cangkok kulit. Dalam satu penelitian, mutasi pada gen kolagen tipe VII yang dikoreksi dalam fibroblas pasien kemudian  diprogram untuk sel iPS yang dapat digunakan untuk membentuk struktur kulit secara in vivo. Studi lain juga mengoreksi mutasi penyebab penyakit dalam sel iPS pasien, dan menggunakan sel-sel ini untuk menghasilkan epitel keratinosit.

Gangguan Mata
Telah dilakukan uji klinis untuk pengobatan Leber Congenital Amaurosis tipe 2 (LCA2) dan telah mendorong penelitian retina menggunakan bidang terapi gen. Menggunakan injeksi subretinal dari AAV encoding gen RPE65. LCA adalah penyebab utama dari kebutaan dan disebabkan oleh mutasi pada setidaknya 18 gen berbeda. LCA10, bentuk paling umum dari LCA, disebabkan oleh mutasi pada sekitar 7,5 KB CEP290 gen dan karena itu pendekatan dengan terapi gen standar digunakan untuk LCA2 tidak disetujui karena ukuran besar. S. Aureus Cas9 digunakan untuk menghapus sebuah daerah intronic di CEP290 gen yang mengandung mutasi dan menciptakan situs yang mengganggu urutan gen coding. Penghapusan daerah intronic ini dipulihkan ekspresi CEP290 yang tepat.


Gangguan Pernafasan
Cystic fibrosis disebabkan oleh mutasi CFTR channel. Hilangnya fungsi ini menyebabkan disfungsi transportasi cairan epitel di beberapa organ. Khususnya, hilangnya cairan transportasi cairan lender dalam paru-paru dan terjadinya infeksi sehingga menyebabkan infeksi saluran napas. Editing gen telah digunakan untuk memperbaiki mutasi CFTR di sel induk usus pasien dan sel-sel iPS yang bisa dibedakan menjadi sel-sel epitel. Tantangan bagi terapi gen dan gen editing untuk cystic fibrosis adalah pengiriman gen yang efisien untuk epitel paru-paru.

Antimikroba
Disamping mengubah genom manusia penelitian mengenai gen editing juga dikembangkan untuk menyerang bakteri pathogen. Studi terbaru menunjukkan bukti pendekatan menggunakan CRISPR/Cas9 untuk menghilangkan bakteri dalam tikus dan infeksi larva ngengat, serta selektif menghilangkan plasmid dan populasi bakteri. Strategi alternatif ini untuk mengubah sistem CRISPR dengan pengiriman crRNAs, seperti yang baru-baru ini dilakukan untuk menghapus selektif strain bakteri dengan sistem CRISPR tipe I. Pilihan sistem tipe I adalah penting mengingat bahwa enzim CAS3 tipe I sistem memiliki aktivitas exonuclease yang dapat memfasilitasi DNA. tipe II CRISPR/Cas9 hanya memotong DNA.


KESIMPULAN DAN ARAH MASA DEPAN
Kemajuan luar biasa telah dibuat dalam mengatasi tantangan terapi gen konvensional dengan mengembangkan teknologi baru untuk dari genom manusia. Hal ini telah membantu mengatasi beberapa kendala yang telah melanda bidang gen terapi selama beberapa dekade. Hal yang masih menjadi kendala adalah mengenai keselamatan dan pengiriman. Dalam hal ini, kemajuan pesat sedang dibuat baik untuk meningkatkan spesifisitas alat genom editing dan meningkatkan sensitivitas untuk menilai kekhususan genome yang luas.
Banyak keberhasilan praklinis yang Studi terakhir di sini, serta perkembangan genom editing dalam uji klinis, merupakan sumber optimisme yang signifikan untuk masa depan bidang ini. Kemajuan pesat di lapangan kemungkinan akan terus berlanjut menghasilkan teknologi baru yang akan memperluas lingkup genom editing. Alternatif gen editing, tidak bergantung pada DSB, sistem CRISPR adalah alternatif. Kesimpulan, editing genom telah mengubah definisi gen dan terapi sel dan telah menjadi faktor kunci dalam bidang ini, tetapi membutuhkan banyak penelitian untuk dapat diterapkan pada manusia.